Jakarta, 30 September 2024. Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI. Menindaklanjuti forum diskusi advokasi industri yang dilaksanakan baru-baru ini melalui rapat konsolidasi internal Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI. Telah diputuskan untuk mengadakan aksi unjuk rasa kepada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Aksi Unjuk Rasa direncanakan digelar hari kamis tanggal 10 Oktober 2024, bertepatan dengan hari Kesehatan Mental Sedunia. Hal ini menyusul tidak diindahkannya segala bentuk aspirasi dari publik RTMM mengenai PP 28 Tahun 2024 dan PERMENKES. Khususnya mengenai pasal yang mengatur terkait tembakau dan produk makanan minuman. Setidaknya direncanakan 3000 anggota FSP RTMM-SPSI dari berbagai Provinsi akan mengikuti aksi unjuk rasa ini.https://www.serikatpekerjartmm.com/kemnakerpengusaha-dan-rtmm-sepakat-regulasi-rokok-akan-picu-phk/
FSP RTMM-SPSI mendorong Pemerintah untuk mencabut pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 Tentang Kesehatan dan menolak pasal-pasal dalam PERMENKES sebagai aturan turunan dari PP 28/2024. Secara data dan fakta regulasi akan mengancam kelangsungan usaha industri sebagai sawah ladang dan mengancam kelangsungan kerja (PHK) para pekerja yang ada didalamnya. Belum lagi dalam proses pembuatan PP 28/2024 Tentang Kesehatan dan rencana PERMENKES tidak pernah melibatkan peran FSP RTMM-SPSI – SP RTMM sebagai salah satu pihak terkait yang akan terdampak atas regulasi industri tersebut di kemudian hari.
Karena Indonesia harus mempertahankan sebagai negara berdaulat karena: telah memiliki produk RTMM (aspek sosial & ekonomi). Indonesia telah menjadi negara produsen (mata rantai yang bergantung sangat luas, hulu – hilir). Indonesia telah memiliki aturan kesehatan sendiri (UU 9/1960; UU 3/1966; UU 23/1992; UU 36/2009; PP 109/2012; UU 17/2023; dan PP 28/2024). Dan telah memberikan pemasukan negara untuk pembagunan (nilainya lebih besar dari BUMN). Akan tetapi walaupun hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi FCTC. Namun ada indikasi kuat adanya tekanan-tekanan Internasional melalui isu kesehatan (WHO), dimana poin-poin FCTC diselipkan dalam aturan yang ada di Indonesia.
Pasal – Pasal yang Memberatkan
Tekanan PP 28/2024 Tentang Kesehatan bagi industri hasil tembakau terdapat pada Pasal: 431, 432, 433, 434, 435, 436, 437, 438, 439, 443, 444, 445, 446, 447, 448, 449, 450, 451, 452, 453, 454, 456, 457, 458, 460, 461, 463, 464. Seharusnya pertimbangan mengenai batas tar dan nikotin harus memperhatikan sikon petani tembakau dan cengkeh. Batas 200 meter dari tempat pendidikan dan tempat bermain anak harus memperhatikan sikon lapangan. Pembesaran gambar dan tulisan peringatan 50 harusnya memperhatikan biaya produksi dan image produk yang seolah-olah sumber segala masalah.
Wajib KTR harus memperhatikan sikon implementasi pengawasan di lapangan dan hak asasi perokok. Larangan dan pembatasan iklan harus memperhatikan sikon usaha sektor terkait. Peran serta masyarakat dalam pengawasan dapat menimbulkan konflik sosial. Ditambah lagi terkait draf PERMENKES terkait kebijakan kemasan rokok polos tentunya akan mengganggu pasar. Karena: a). Kemasan polos akan meningkatkan peredaran rokok ilegal karena konsumen tidak bisa membedakan rokok legal dengan rokok ilegal dan akan mempersulit pengawasan dan b). Dampak dari persaingan tidak sehat dengan maraknya rokok ilegal dan adanya diskriminasi pengaturan terhadap jesnis rokok tertentu yang TKDN nya sangat rendah.
Tekanan PP 28/2024 Tentang Kesehatan bagi Industri Makanan Minuman, Pasal 33, yaitu pembatasan/aturan susu formula dan sejenisnya: pemberian contoh produk, penawaran, kerja sama, penjualan langsung ke rumah, potongan harga atau tambahan, iklan segala media. Pasal 192 ayat (5): pengendalian faktor risiko, ayat (1) huruf c dapat berupa kegiatan: pengendalian konsumsi gula, garam, lemak. Pasal 195, Pembatasan/aturan produksi, impor, mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji, terkait kandungan gula, garam dan lemak; mencantukan label gizi termasuk kendungan gula, garam, dan lemak pada kemasan, iklan, promosi, dan sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu, pada kawasan tertentu. Sedangkan untuk produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) akan dikenakan cukai tahun 2025, termasuk pembatasan/aturan lainnya
Kekhawatiran isi PERMENKES
Semua regulasi yang diterbitkan termasuk PERMENKES seharusnya menjadi aturan yang adil, berimbang, independen, dan konprehensif untuk membangun daya saing dan keberlangsungan ekosistem dunia usaha, dalam hal ini Industri Hasil Tembakau (IHT) dan Industri Makanan Minuman (IMM). FSP RTMM-SPSI – SP RTMM menganalisa bahwa kecenderungan dari tujuan regulasi industri tersebut semata-mata lebih dominan terhadap upaya Pemerintah untuk menambah pendapatan negara bukan fokus ke masalah Kesehatan.
Dalam situs partisipasisehat yang diinisiasi oleh KEMENKES RI sebagai tindaklanjut proses public hearing setelah terbitnya PP 28/2024 Tentang Kesehatan, per 24 September 2024 jumlah partisipan dari anggota/pekerja FSP RTMM-SPSI – SP RTMM dalam ikut mengisi situs partisipasisehat tersebut mencapai sekitar 19.000 orang, namun hingga saat ini pihak KEMENKES RI belum transparansi dalam mempublikasi hasil pengisian situs partisipasisehat tersebut sebagai wujud dari public hearing.
Beberapa kritisan terhadap aspirasi pencabutan pasal-pasal dalam PP 28/2024 tentang Kesehatan dan penolakan PERMENKES sebagai aturan turunannya karena akan mengancam kelangsungan usaha industri sebagai sawah ladang dan mengancam kelangsungan kerja para pekerja/buruh yang ada di dalamnya:
RTMM Sektor Industri Andalan Penyerap Tenaga Kerja
Di tengah berbagai pandangan dan tekanan akibat eksternalitas negatif, Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan sub-sektor industri yang masih berperan penting dalam perekonomian dan mempunyai keterkaitan yang kuat baik dari hulu maupun ke hilir, karena:
Sektor ini menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja dari sektor pertanian tembakau dan cengkeh, produsen dan perdagangan serta jasa pendukung lainnya.IHT memberikan kontribusi signifikan pada penerimaan negara melalui Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang mencapai hampir 10% dari penerimaan perpajakan negara. Pada tahun 2022 dan tahun 2023, penerimaan cukai masing-masing Rp. 218,6 triliun dan Rp. 213,5 triliun. Jumlah ini bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan kontribusi dari penerimaan deviden BUMN senilai Rp.40 tiliun dan Rp.80 triliun pada kurun waktu yang sama.Selain itu IHT juga menyumbang devisa negara sejumlah US$ 1 milliar melalui eksporBelum ada solusi terhadap implementasi PP 28 tahun 2024.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan lanjut kejar target untuk menyusun aturan turunannya melalui Rancangan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik (RPMK).Diharapkan kebijakan tersebut tidak menjadi kontraproduktif terhadap penerimaan negara.Tantangan yang dihadapi IHT sangat besar, baik yang berasal dari kebijakan pemerintah maupun akibat belum pulihnya ekonomi nasional, termasuk maraknya rokok ilegal.
Kebijakan terkait pertembakauan perlu arif bijaksana, seimbang dan proporsional. Agar dampak positif dapat diperoleh dan dampak negatif dapat dikendalikan secara optimal serta dipertimbangkan secara komprehensif. Kebijakan yang terlalu ketat terhadap IHT, akan dapat mematikan IHT dan ekosistemnya. Sementara perokok tidak akan berhenti merokok, tetapi mencari jalan lain mengkonsumsi rokok ilegal dan/atau rokok impor. Apabila hal ini terjadi, akan menambah dampak negatif lainnya sehingga menimbulkan peningkatan pengangguran yang dapat memicu masalah sosial politik, mengganggu stabilitas dan keamanan. Sementara eksternalitas negatif yang hendak dikendalikan tidak tercapai.
Pemerintah perlu mencari formula keseimbangan sedemikian rupa sehingga masih efektif dalam pengendalian produk tembakau. Namun masih memberikan ruang gerak bagi industri untuk mempertahankan tenaga kerja langsung maupun sepanjang rantai pasok dan industri pendukungnya. Dan juga memberikan kontribusi pada penerimaan negara termasuk perolehan devisa dan berkurangnya rokok ilegal.
Problematika Industri Makanan Minuman Dalam PERMENKES
Tantangan dan problem yang perlu diantisipasi sehubungan dengan PP 28/2024 Tentang Kesehatan dan PERMENKES sebagai aturan turunannya terhadap Industri Makanan Minuman selain penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK):
PP 28/2024 dan turunannya termasuk peraturan Nutri-Level FOPNL (Front of pack Nutrient Labeling) Badan POM RI yang mengacu pada peraturan Pelabelan Pangan Olahan Singapura. Tidak akan mencapai tujuan pemerintah dalam menurunkan PTM (Penyakit Tidak Menular) seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan jantung. Namun justru akan berdampak negatif terhadap Industri Pangan yang mempekerjakan lebih dari 4.4 juta karyawan di seluruh Indonesia.Asupan Gula, Garam, dan Lemak berasal dari kuliner olahan termasuk rumah tangga, pangan segar dan pangan olahan; sehingga tidak tepat apabila hanya dibebankan pada industri pangan olahan. Kontribusi asupan dari kuliner, UMKM, PIRT, bahkan konsumsi masakan di rumah relatif jauh lebih besar.
Perlunya edukasi bersama semua stakeholder dan implementasi peraturan yang sudah ada seperti: Pilihan Lebih Sehat. Mengacu peraturan Negara Singapura yang mayoritas pangan olahannya diimpor, jelas berbeda dengan industri pangan Indonesia yang berdasarkan industri, melibatkan tenaga kerja untuk pasar domestik 280 juta orang dan ekspor.https://youtu.be/BCqC81e7Bqo