Wednesday, 2 July 2025

PANDANGAN DUNIA USAHA ATAS KEBIJAKANREGULATIF YANG MENEKAN DAYA SAING INDUSTRI

INDUSTRI HASIL TEMBAKAU

Industri hasil tembakau (iht) ibarat primadona bagi keuangan negara. namun, paling banyak tekanan bukan hanya regulasi tapi juga rongrongan dan serangan rokok ilegal. realisasi kontribusi cukai ht thn 2024 rp. 216,9 t (diluar ppn, pph dan pajak rokok). bandingkan total penerimaan negara dari freeport thn 2024 us$ 4,7 miliar (≈ rp. 79 triliun). (total artinya meliputi pajak, royalti, dividen & pnbp).

Tingginya tekanan-tekanan dan serangan rokok ilegal mengakibatkan turunnya produksi rokok nasional dan bergugurannya pabrikan-pabrikan rokok legal yang taat dan patuh kepada ketentun negara.

PERTANYAAN : apakah produksi rokok nasional faktanya benar turun sesuai data tsb? yang artinya tujuan pemerintah tercapai dg kenaikan cukai? atau data produksi rokok nasionalsemu dgn maraknya peredaran rokok ilegal disamping tekanan-tekanan regulasi?

Kemunduran Industri Rokok Legal di Sumatera Utara: Dari Puluhan Pabrikan Menjadi Hanya Empat

Pada era 1950-an, industri rokok legal di Sumatera Utara pernah mencapai masa kejayaannya. Tercatat lebih dari 60 pabrikan rokok beroperasi di wilayah ini, menjadi bagian penting dari perekonomian lokal dan menyerap banyak tenaga kerja. Namun, seiring berjalannya waktu, satu per satu pabrikan tersebut mulai gulung tikar. Dalam beberapa dekade terakhir, tren penurunan ini semakin nyata. Tiga pabrikan besar—Kisaran Tobacco, Pagi Tobacco, dan PR. SJ—telah resmi menutup operasionalnya. Penutupan ini menambah panjang daftar pabrikan yang tak mampu bertahan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari regulasi yang semakin ketat, persaingan pasar yang tidak seimbang, hingga perubahan pola konsumsi masyarakat. Kini, hanya tersisa empat pabrikan rokok legal di Sumatera Utara, dan semuanya berpusat di Kota Pematangsiantar. Kota ini menjadi benteng terakhir industri rokok legal di provinsi tersebut, mempertahankan tradisi dan sejarah panjang yang mulai tergerus zaman.

Kebijakan Cukai yang Tidak Seimbang dan Dampaknya terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT)

Penetapan target penerimaan cukai yang terlalu tinggi telah mendorong kenaikan tarif cukai secara eksesif—melebihi batas kemampuan industri hasil tembakau (IHT) untuk bertahan. Kenaikan ini tidak hanya membebani pelaku industri, tetapi juga mempercepat laju penutupan pabrikan rokok legal, terutama yang berskala kecil dan menengah.

Di sisi lain, pemerintah belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam memberantas peredaran rokok ilegal. Ketidakseimbangan ini menciptakan tekanan ganda bagi industri legal: mereka harus menanggung beban fiskal yang berat, sementara produk ilegal yang tidak dikenai cukai tetap bebas beredar di pasar dengan harga jauh lebih murah. Data realisasi penerimaan cukai menunjukkan tren penurunan. Pada tahun 2023, realisasi penerimaan cukai hanya mencapai 98% dari target, dan pada tahun 2024 bahkan turun menjadi 94%. Ini mengindikasikan bahwa meskipun tarif cukai terus dinaikkan, hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan ekspektasi. Ironisnya, pada periode 2020–2022—saat banyak perusahaan rokok berguguran akibat dampak pandemi COVID-19—pemerintah tetap menaikkan tarif cukai demi mengejar target penerimaan negara. Kebijakan ini dinilai tidak berpihak pada keberlangsungan industri, terutama di tengah krisis ekonomi dan ketidakpastian pasar.

Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Beban Tambahan bagi Industri Hasil Tembakau

Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) sejatinya diberlakukan untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian serius akibat lonjakan impor. Namun, dalam konteks industri hasil tembakau (IHT), kebijakan ini justru menimbulkan dilema tersendiri. Meskipun data menunjukkan bahwa tingkat produksi rokok nasional terus mengalami penurunan, BMTP tetap dikenakan terhadap impor bahan baku seperti kertas sigaret dan kertas plug wrap non-porous. Padahal, tidak ada indikasi lonjakan impor yang signifikan, mengingat permintaan dari sektor hilir juga menurun. Kebijakan ini diberlakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 157/PMK.010/2021, yang menetapkan tarif BMTP sebesar Rp4.000.000 per ton sejak tahun 2021 

Ironisnya, tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk melindungi produsen kertas sigaret dalam negeri. Namun, dalam praktiknya, produsen tersebut justru merupakan kompetitor bagi pelaku industri rokok di hilir. Lebih dari itu, salah satu alasan utama pelaku industri melakukan impor adalah karena produsen lokal belum mampu memenuhi spesifikasi teknis yang dibutuhkan, baik dari segi kualitas maupun konsistensi pasokan. Akibatnya, IHT harus menanggung beban biaya tambahan yang signifikan, yang pada akhirnya berdampak pada daya saing produk legal di pasar. Dalam situasi di mana industri tengah menghadapi tekanan dari berbagai sisi—termasuk kenaikan cukai dan maraknya rokok ilegal—pengenaan BMTP ini dinilai tidak tepat sasaran dan justru memperparah kondisi industri nasional.

Dampak Pemberlakuan SNI Wajib terhadap Kertas Pembentuk Rokok: Tantangan Baru bagi Industri Ekspor

Peraturan Menteri Perindustrian No. 63 Tahun 2024 menetapkan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib untuk kertas pembentuk rokok. Kebijakan ini bertujuan untuk menjamin keamanan, kesehatan, dan keselamatan konsumen, sekaligus meningkatkan daya saing dan efisiensi industri kertas dalam negeri  Namun, implementasi regulasi ini menimbulkan sejumlah permasalahan di lapangan, khususnya bagi pelaku industri hasil tembakau yang berorientasi ekspor. Salah satu ketentuan dalam peraturan ini melarang importir produsen untuk melakukan impor langsung dari pemasok luar negeri, kecuali melalui perwakilan resmi di Indonesia yang memiliki Izin Perdagangan (IP) Kehutanan.

Masalahnya, kapasitas IP dari perwakilan pemasok luar negeri di Indonesia sangat terbatas dan tidak sebanding dengan kebutuhan industri. Sebagai contoh, kebutuhan bahan baku kertas bisa mencapai ribuan ton, sementara IP yang tersedia dari perwakilan lokal hanya mencakup kurang dari 100 ton. Hal ini menyebabkan tersendatnya proses produksi, terutama untuk produk rokok yang ditujukan untuk pasar ekspor. Lebih ironis lagi, meskipun produk rokok tersebut tidak dipasarkan di dalam negeri, bahan bakunya tetap diwajibkan memenuhi standar SNI. Padahal, konsumen akhir berada di luar negeri dan tidak terikat oleh standar nasional Indonesia. Akibatnya, ekspor rokok yang seharusnya menjadi sumber devisa negara justru terhambat oleh regulasi domestik yang tidak fleksibel.

Tekanan Regulasi terhadap Industri Makanan dan Minuman: Antara Pengendalian GGL dan Tantangan Perizinan

I. Pengendalian Gula, Garam, dan Lemak (GGL)

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 menetapkan kebijakan pengendalian terhadap kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) dalam produk pangan olahan. Beberapa poin penting dari regulasi ini antara lain:

  • Penetapan batas maksimal kandungan GGL dalam produk pangan olahan, berdasarkan kajian risiko dan standar internasional.
  • Kewajiban pencantuman informasi kandungan GGL pada kemasan produk pangan olahan dan/atau media informasi untuk pangan siap saji.
  • Larangan iklan, promosi, dan sponsor bagi produk yang melebihi batas maksimal GGL, khususnya pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu.
  • Pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu yang mengandung GGL berlebih, sesuai ketentuan perundang-undangan.

II. Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK)

Masih dalam PP No. 28 Tahun 2024, Pasal 194 ayat (4) mengatur bahwa produk minuman yang mengandung gula tambahan secara berlebih—baik dalam bentuk kaleng, botol, maupun kemasan lainnya—dapat dikenakan cukai. Contoh produk yang termasuk dalam kategori ini antara lain:

  • Minuman bersoda (soft drink)
  • Minuman boba
  • Minuman berperisa manis
  • Minuman energi

Namun hingga saat ini, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar pelaksanaan pungutan cukai tersebut belum diterbitkan, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku industri.


III. Tantangan dalam Perizinan Berusaha Berbasis Risiko

PP No. 28 Tahun 2025 menggantikan PP No. 5 Tahun 2021 dan mengatur tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) melalui sistem OSS RBA (Online Single Submission Risk-Based Approach). Meskipun bertujuan menyederhanakan proses perizinan dan memberikan kepastian hukum, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala:

  • Proses perizinan tidak selalu lebih mudah. Dalam praktiknya, sistem OSS sering mengalami hambatan teknis dan administratif.
  • Contoh kasus: Untuk sekadar menambahkan KBLI baru dalam masa uji coba produksi, pelaku usaha diwajibkan mengubah seluruh dokumen lingkungan yang sudah ada. Hal ini memerlukan biaya besar dan waktu yang lama.
  • Permohonan tidak terdeteksi sistem. Beberapa permohonan yang sudah dikirim melalui OSS tidak diterima oleh kementerian/dinas terkait, tanpa adanya notifikasi atau umpan balik.
  • Batas waktu penerbitan izin tidak dipatuhi. Pelaku usaha sering kali menunggu tanpa kejelasan apakah izin mereka diterima atau ditolak.
  • Masih diperlukan proses tatap muka. Meskipun berbasis online, beberapa proses seperti pengurusan izin ABT tetap memerlukan interaksi langsung.

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.