Wednesday, 2 July 2025

T.O.R Seminar Ketenagakerjaan Nasional

TERM OF REFERENCE SEMINAR KETENAGAKERJAAN NASIONAL PRA-RAPAT PLENO RAKERNAS II – RAPIMNAS IV FSP RTMM-SPSI TAHUN 2025

LATAR BELAKANG

Perubahan lanskap ketenagakerjaan di Indonesia memasuki babak baru dengan berkembangnya wacana legislasi yang akan memperbarui kerangka hukum ketenagakerjaan nasional, termasuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan yang direncanakan akan dibahas pada 2025. Di tengah dinamika ini, muncul sejumlah isu strategis, terutama terkait norma ketenagakerjaan yang menyangkut masa depan pekerja, seperti pengaturan hak atas pensiun, jaminan sosial, hingga fleksibilitas hubungan kerja. Norma perlindungan dasar pekerja merupakan prinsip hukum dan kebijakan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak minimum pekerja dalam hubungan kerja. Norma ini mencakup jaminan terhadap hak atas upah layak, jam kerja yang manusiawi, hak atas keselamatan dan kesehatan kerja, hak berserikat dan berunding, serta hak atas kepastian hubungan kerja.

Norma-norma tersebut bersifat universal dan tidak dapat dikurangi (non-derogable rights), bahkan dalam kondisi darurat sekalipun, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. Namun dalam praktik ketenagakerjaan di Indonesia saat ini, berbagai persoalan muncul yang menunjukkan gejala pelemahan terhadap norma perlindungan dasar tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan regulasi melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan turunannya telah mengubah struktur perlindungan pekerja, dengan kecenderungan lebih berpihak pada fleksibilitas pasar kerja dan kepentingan investasi.

Fenomena ini memicu kekhawatiran bahwa perlindungan normatif yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi pekerja justru semakin terkikis. Sejumlah realitas yang muncul antara lain adalah menurunnya daya ikat norma hukum ketenagakerjaan, lemahnya penegakan hukum, dan munculnya praktik-praktik hubungan kerja yang tidak sehat, seperti kontrak kerja berkepanjangan, outsourcing yang meluas, serta pelanggaran terhadap hak berserikat dan hak berunding secara bebas. Di sisi lain, supremasi hukum ketenagakerjaan sebagai pilar keadilan sosial belum sepenuhnya ditegakkan secara konsisten dan menyeluruh. Hak pekerja untuk berserikat, mengusulkan, dan berunding secara kolektif juga masih menghadapi banyak hambatan, baik secara struktural maupun kultural. Banyak pekerja yang masih mengalami intimidasi ketika berserikat, dan forum-forum bipartit belum dijalankan secara efektif sebagai mekanisme dialog sosial yang sehat. https://youtu.be/4v_UgXlH-SU?si=Y0GOlg3861QM9FNI

Tujuan dan Ketentuan Pembuatan Norma Hukum

a. Tujuan Pembuatan Norma Hukum

Norma hukum dibentuk sebagai pedoman perilaku dalam masyarakat agar tercipta ketertiban, keadilan, dan perlindungan terhadap hak-hak setiap individu, termasuk pekerja. Dalam konteks ketenagakerjaan, norma hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat pengatur hubungan kerja, tetapi juga sebagai instrumen perlindungan sosial terhadap pihak yang secara struktural berada dalam posisi yang lebih lemah, yaitu pekerja. Tujuan utama pembuatan norma hukum ketenagakerjaan antara lain:

1) menjamin perlindungan hak dasar pekerja; norma hukum bertujuan melindungi hak-hak fundamental seperti hak atas upah layak, waktu kerja yang manusiawi, keselamatan kerja, dan jaminan social;

2) mewujudkan keadilan dalam hubungan industrial; karena hubungan antara pengusaha dan pekerja bersifat tidak seimbang, norma hukum diperlukan sebagai pengatur agar kedua pihak berada dalam kerangka hak dan kewajiban yang adil;

3) mencegah eksploitasi dan diskriminasi; norma hukum mencegah praktik-praktik yang merugikan pekerja, termasuk eksploitasi tenaga kerja, union busting, diskriminasi gender, dan pelecehan di tempat kerja.

4) memberikan kepastian hukum; norma hukum memberi kejelasan terhadap aturan main dalam hubungan kerja, termasuk hak dan kewajiban, serta mekanisme penyelesaian perselisihan. Menjamin kepatuhan terhadap standar internasional dan Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi ILO; sehingga pembuatan norma hukum juga bertujuan menyesuaikan standar nasional dengan standar internasional yang diakui.

b. Ketentuan Pembuatan Norma Hukum

Dalam proses pembentukan norma hukum, terdapat prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi agar norma tersebut sah secara substansi maupun prosedural. Ketentuan ini bersumber dari asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang[1]Undang Nomor 12 Tahun 2011 (sebagaimana diubah dengan UU No. 13 Tahun 2022), antara lain:

1) asas kejelasan tujuan norma : hukum harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan hukum tertentu, bukan sekadar formalitas hukum;

2) asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan norma hukum harus selaras dengan tata urutan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan;

3) asas dapat dilaksanakan : norma yang dibentuk harus realistis dan dapat dijalankan baik oleh pemerintah, pengusaha, maupun pekerja;

4) asas keterbukaan dalam proses pembentukan norma : partisipasi publik harus dijamin, termasuk dari kalangan Serikat Pekerja;

5) asas keadilan dan perlindungan : substansi norma harus menjamin perlindungan terhadap kelompok yang lebih rentan dan mencerminkan rasa keadilan sosial; dan

6) asas kepastian hukum : norma harus dirumuskan dengan bahasa hukum yang jelas dan tidak multitafsir.

Dengan kata lain, tujuan dan ketentuan pembuatan norma hukum dalam konteks perlindungan dasar pekerja adalah agar tercipta sistem hukum ketenagakerjaan yang berkeadilan, humanis, dan efektif menjawab tantangan ketimpangan struktural antara buruh dan pengusaha

Seminar Ketenagakerjaan Realitas Menurunnya Norma Hukum

Perlindungan Dasar Pekerja Memasuki tahun 2025, dunia ketenagakerjaan Indonesia menghadapi situasi yang semakin kompleks. Salah satu isu paling krusial adalah menurunnya kualitas dan daya jangkau norma hukum perlindungan dasar pekerja, baik secara substansial maupun dalam implementasinya. Meskipun secara formil Indonesia masih mengakui prinsip-prinsip perlindungan pekerja melalui konstitusi, undang-undang, dan ratifikasi konvensi ILO, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak norma yang justru mengalami pelemahan, baik melalui perubahan regulasi maupun pola pelaksanaannya.

Salah satu penyebab utamanya adalah kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya, seperti PP Nomor 35 Tahun 2021 (tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja). Meski Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat pada 2021, pemerintah tetap mengesahkan perbaikan dalam bentuk Undang[1]undang Nomor 6 Tahun 2023. Alih-alih memperkuat perlindungan pekerja, revisi tersebut mengukuhkan fleksibilisasi pasar kerja yang berdampak pada pengurangan standar minimum perlindungan, seperti:

a. Normalisasi sistem kerja kontrak dan outsourcing tanpa batas, yang melemahkan kepastian kerja dan hak atas perlindungan jangka panjang.

b. Ketidakjelasan dalam formula pengupahan, khususnya bagi pekerja kontrak, harian lepas, dan sektor padat karya.

c. Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang makin mudah dilakukan oleh pengusaha tanpa mekanisme dialog dan pengawasan yang kuat.

Di samping itu, pengawasan ketenagakerjaan yang lemah masih menjadi masalah struktural. Rasio jumlah pengawas dengan jumlah perusahaan sangat tidak sebanding, dan sebagian besar laporan pelanggaran norma hukum tidak ditindaklanjuti secara tegas. Hal ini membuka ruang terjadinya pelanggaran sistematis terhadap hak pekerja. Fenomena lainnya adalah komersialisasi dan birokratisasi dalam hubungan industrial yang melemahkan posisi serikat pekerja.

Banyak perusahaan justru menjadikan perjanjian kerja bersama (PKB) sebagai formalitas tanpa substansi yang progresif, bahkan mengunci hak-hak normatif pekerja dalam kesepakatan yang lebih rendah dari ketentuan perundang-undangan. Lebih jauh lagi, situasi tahun 2025 juga memperlihatkan bagaimana teknologi dan digitalisasi — meskipun membawa efisiensi — turut menggeser pola kerja ke arah yang lebih informal dan berbasis proyek (gig economy). Akibatnya, banyak pekerja tidak terikat hubungan kerja formal dan tidak mendapatkan jaminan perlindungan hukum, seperti asuransi tenaga kerja, jaminan sosial, atau hak atas cuti.

Serikat pekerja menghadapi tantangan serius. Ruang perjuangan semakin sempit, daya tawar semakin tertekan, dan banyak organisasi buruh harus bekerja ekstra hanya untuk mempertahankan hak normatif yang seharusnya dijamin. Kondisi ini mencerminkan bahwa norma hukum yang seharusnya menjadi alat perlindungan, telah kehilangan daya regulatif dan fungsinya secara substansial.

Realitas Supremasi Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

Supremasi hukum idealnya bermakna bahwa semua tindakan dalam sistem ketenagakerjaan harus tunduk dan patuh pada hukum yang berlaku, serta bahwa hukum menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan setiap persoalan industrial. Namun dalam praktiknya, supremasi hukum ketenagakerjaan di Indonesia hingga tahun 2025 masih jauh dari harapan. Norma hukum sering kali tidak menjadi panglima dalam hubungan industrial, melainkan justru kalah oleh dominasi kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik. Salah satu indikator lemahnya supremasi hukum adalah rendahnya kepatuhan pengusaha terhadap norma ketenagakerjaan, terutama di sektor[1]sektor padat karya dan informal. Misalnya, masih banyak pekerja yang tidak mendapatkan upah minimum, tidak memiliki perjanjian kerja tertulis, atau tidak dilindungi oleh jaminan sosial.

Meskipun peraturan sudah jelas, seperti kewajiban pengusaha untuk mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, kenyataannya jutaan pekerja tetap berada di luar skema perlindungan tersebut. Ketimpangan pelaksanaan hukum di berbagai daerah juga semakin mencolok. Di wilayah industri seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sebagian Sumatera, banyak pengusaha memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan untuk menjalankan praktik hubungan kerja yang bertentangan dengan ketentuan normatif. Hal ini diperparah dengan sikap pasif sebagian pemerintah daerah, yang lebih memilih menjaga “iklim investasi” ketimbang menegakkan aturan.

Fungsi pengawasan ketenagakerjaan masih sangat lemah. Dengan jumlah pengawas yang minim dan keterbatasan sumber daya, negara gagal memastikan bahwa pelanggaran terhadap hukum ketenagakerjaan ditindak tegas. Sering kali, pelanggaran hanya berakhir pada teguran administratif atau tidak direspons sama sekali, sehingga menciptakan ruang impunitas bagi pelaku pelanggaran. Di sisi lain, mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) masih belum memberikan rasa keadilan yang cepat, murah, dan efektif bagi pekerja. Banyak kasus penyelesaian PHK atau pelanggaran hak normatif yang berlarut-larut hingga bertahun-tahun di Pengadilan Hubungan Industrial. Bahkan, dalam banyak kasus, putusan yang sudah inkracht pun tidak dilaksanakan karena tidak adanya mekanisme eksekusi yang kuat. Kondisi ini semakin menegaskan bahwa supremasi hukum bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi soal bagaimana negara hadir dalam memastikan pelaksanaannya.

Yang lebih memprihatinkan adalah terjadinya kriminalisasi terhadap aktivis buruh dan pembubaran paksa serikat pekerja di beberapa perusahaan besar, termasuk di sektor industri makanan dan minuman. Ini menandakan bahwa dalam praktik hubungan industrial, kekuasaan korporasi lebih sering dijadikan panglima dibanding hukum. Ketika pekerja menggunakan hak berserikat dan berunding, respons yang muncul bukan dialog sosial, melainkan tekanan, mutasi sepihak, atau pemutusan hubungan kerja. Dari sisi legislasi, meskipun hukum ketenagakerjaan terus diperbarui, banyak norma hukum yang dibuat justru tidak mencerminkan perlindungan substantif. Contohnya, UU Cipta Kerja dan berbagai aturan turunannya lebih mengutamakan fleksibilitas tenaga kerja dan kepentingan pasar, bukan prinsip keadilan atau perlindungan sosial.

Situasi ini menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan di Indonesia belum sepenuhnya diakui sebagai panglima dalam hubungan industrial. Hukum hanya tegak di atas kertas, tapi rapuh dalam pelaksanaan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya sistematis dari negara, serikat pekerja, dan masyarakat sipil untuk merebut kembali posisi hukum sebagai fondasi utama dalam menciptakan hubungan industrial yang adil dan beradab.

Realitas Hak Berserikat pada Implementasi Hak Usul dan Berunding

Hak untuk berserikat dan berunding secara kolektif merupakan salah satu pilar utama dalam sistem hubungan industrial yang adil dan demokratis. Hak ini telah dijamin oleh konstitusi (UUD 1945 Pasal 28E) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Namun, hingga tahun 2025, pelaksanaan hak tersebut masih menghadapi hambatan serius secara struktural maupun kultural, terutama di tingkat tempat kerja. Secara struktural, banyak pengusaha yang secara aktif menghalangi terbentuknya serikat pekerja di perusahaan dengan berbagai cara, seperti intimidasi, mutasi, pengurangan jam kerja, hingga pemutusan hubungan kerja terhadap penggagas pendirian serikat.

Bentuk-bentuk union busting ini sering kali berlangsung tanpa sanksi tegas dari pemerintah, karena lemahnya pengawasan dan ketidakberpihakan aparat terhadap pekerja. Di sisi lain, hak pekerja untuk mengusulkan perbaikan kondisi kerja atau memperjuangkan haknya melalui perundingan kolektif juga tidak sepenuhnya dihormati. Banyak perusahaan hanya melakukan perundingan sebagai formalitas, tanpa kemauan nyata untuk mencapai kesepakatan yang adil. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di sejumlah sektor dibuat tanpa partisipasi aktif pekerja, atau bahkan menurunkan standar perlindungan yang seharusnya dijamin oleh hukum. Secara kultural, masih terdapat rasa takut, apatisme, dan kurangnya kesadaran hukum di kalangan pekerja untuk terlibat aktif dalam kegiatan serikat. Hal ini disebabkan oleh minimnya pendidikan serikat dan kultur manajerial yang menekan kebebasan berpendapat di tempat kerja.

Pekerja yang menyampaikan usulan perbaikan sering dianggap tidak loyal, bahkan dimusuhi oleh pihak manajemen. Dalam situasi ini, hak berserikat belum menjadi realitas yang hidup, tetapi masih berada dalam batas simbolik. Diperlukan keberanian, konsolidasi, dan strategi advokasi yang kuat dari serikat pekerja untuk memastikan bahwa hak untuk berserikat, mengusulkan, dan berunding benar-benar dijalankan sebagai bagian dari demokrasi ekonomi. https://www.serikatpekerjartmm.com/sudarto-as-refleksi-52-tahun-perjuangan-spsi-pilar-utama-dalam-meningkatkan-kesejahteraan-buruh/

Kritikal Pokok-pokok Norma yang Perlu Didiskusikan

Dalam dinamika hubungan industrial yang terus berkembang, terutama setelah pemberlakuan berbagai regulasi turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, FSP RTMM-SPSI memandang penting untuk mengevaluasi sejumlah norma hukum ketenagakerjaan yang berdampak langsung terhadap perlindungan dasar pekerja, khususnya di sektor rokok, tembakau, makanan, dan minuman (RTMM). Berikut adalah pokok-pokok norma yang dinilai perlu dikritisi, diperkuat, atau ditegaskan ulang:

a. Pembatasan sistem kerja kontrak dan outsourcing secara tegas. Perlunya penegasan bahwa pekerjaan bersifat tetap dan inti tidak boleh dialihkan ke sistem PKWT dan outsourcing. Norma ini penting untuk mencegah pemutusan hubungan kerja terselubung dan mengembalikan kepastian kerja sebagai hak dasar pekerja.

b. Revisi norma PHK dan penguatan mekanisme Bipartit–Tripartit. Diperlukan norma yang melarang PHK sepihak, mengharuskan proses bipartit resmi, dan mewajibkan keterlibatan Disnaker dalam PHK massal. Besaran dan komponen pesangon juga perlu dikaji ulang agar tetap adil dan manusiawi.

c. Penguatan Norma Tentang Upah Layak dan Upah Minimum Sektoral (UMSK). FSP RTMM-SPSI menolak sistem pengupahan yang hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi. Norma upah harus mencerminkan kebutuhan hidup layak (KHL), dan UMSK harus dijadikan kewajiban, bukan rekomendasi. Serikat pekerja harus menjadi penentu utama dalam dewan pengupahan daerah dan sektoral.

d. Perlindungan terhadap Hak Pensiun Layak dan Jaminan Hari Tua. Pekerja sektor RTMM masih banyak yang tidak dijamin pensiun karena status PKWT atau tidak terdaftar BPJS Ketenagakerjaan. Norma jaminan pensiun wajib dan program pensiun komplementer perlu dikembangkan melalui PKB atau regulasi sektoral. FSP RTMM-SPSI mendorong perlakuan setara dan kepastian usia pensiun, termasuk formula pensiun yang menjamin kelayakan hidup di masa tua.

e. Perlindungan Pekerja Perempuan dan Lansia di Sektor Industri Padat Karya. Norma yang melindungi pekerja perempuan dari diskriminasi dan pekerja berusia lanjut dari PHK dini harus diperkuat. Perusahaan wajib menyediakan fasilitas khusus seperti ruang laktasi, serta tidak boleh menggunakan usia sebagai alasan untuk mengakhiri hubungan kerja.

f. Penyempurnaan Standar Minimum Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Sektor RTMM. Norma minimum isi PKB Nasional harus dirumuskan oleh federasi sebagai acuan dasar bagi semua unit kerja, untuk mencegah negosiasi yang menurunkan hak normatif. Termasuk di dalamnya hak pensiun, bonus, cuti tambahan, dan jaminan kesejahteraan keluarga pekerja.

g. Perlindungan terhadap Aktivitas Serikat Pekerja dan Larangan Union Busting. FSP RTMM-SPSI menuntut norma yang lebih kuat mengenai sanksi pidana atau administratif terhadap pengusaha yang melakukan intervensi atau pembubaran paksa serikat, termasuk mutasi, demosi, atau PHK karena aktivitas organisasi.

h. Revisi Norma Tentang Fleksibilitas Jam Kerja dan Lembur. Norma jam kerja harus kembali pada prinsip “kerja layak untuk hidup layak”. Perlu peninjauan ulang terhadap jam lembur berlebihan, shifting tidak manusiawi, dan praktik kerja malam yang tidak dibarengi kompensasi dan jaminan kesehatan yang memadai.

i. Penguatan Fungsi Pengawasan dan Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Diperlukan norma baru yang mengatur pengawasan mandiri (oleh serikat) dan kewajiban transparansi dari perusahaan, serta penguatan wewenang dan kapasitas pengawas ketenagakerjaan untuk bertindak cepat dan tegas atas pelanggaran norma. Norma-norma tersebut mencerminkan aspirasi dan kebutuhan riil anggota FSP RTMM-SPSI, sebagaimana disuarakan dalam forum-forum resmi seperti MUNAS, RAPIMNAS, dan RAKERNAS.

Diskusi terhadap pokok-pokok tersebut bukan hanya merupakan upaya memperbaiki regulasi, tetapi juga menjadi bagian dari strategi memperkuat posisi tawar pekerja dan meneguhkan arah gerakan serikat menuju hubungan industrial yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Isu-isu tersebut bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga menyangkut arah keberpihakan negara dan sistem hukum terhadap kelompok pekerja. Maka, diskusi norma perlindungan dasar harus menjadi agenda bersama dalam mengoreksi arah kebijakan ketenagakerjaan nasional dan membangun sistem hubungan industrial yang berkeadilan.

Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan tersebut, diskusi ini menjadi penting untuk membedah kembali secara kritis apa yang dimaksud dengan norma perlindungan dasar pekerja, mengapa norma tersebut perlu ditegakkan, dan bagaimana strategi penguatannya ke depan. FSP RTMM[1]SPSI sebagai organisasi yang senantiasa memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja memandang perlu untuk menggelar Seminar Ketenagakerjaan sebagai ruang kajian kritis dan advokasi. Seminar ini akan membahas arah dan implikasi dari norma-norma ketenagakerjaan ke depan, khususnya mengenai hak pensiun dan perkembangan RUU Ketenagakerjaan 2025. Diskusi ini juga diharapkan dapat menghasilkan identifikasi atas pokok[1]pokok norma yang paling mendesak untuk diperjuangkan, baik melalui jalur advokasi kebijakan maupun perjuangan langsung di tempat kerja.

TEMA SEMINAR KETENAGAKERJAAN DAN TUJUAN KEGIATAN

Tema Kegiatan adalah Membaca Arah Baru Regulasi Ketenagakerjaan : Diskusi Norma Perlindungan Dasar Pekerja.

TUJUAN SEMINAR KETENAGAKERJAAN

Kegiatan Seminar Ketenagakerjaan Nasional ini diselenggarakan dengan tujuan untuk:

1. Mengidentifikasi dan mengkaji secara kritis arah perubahan regulasi ketenagakerjaan, khususnya RUU Ketenagakerjaan 2025, serta dampaknya terhadap perlindungan dasar pekerja di Indonesia.

2. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran kolektif di kalangan pengurus serikat pekerja, aktivis buruh, dan pemangku kepentingan lainnya mengenai urgensi mempertahankan dan memperkuat norma-norma perlindungan dasar pekerja dalam hubungan industrial.

3. Menganalisis secara mendalam pokok-pokok norma hukum ketenagakerjaan yang mengalami pelemahan, termasuk isu strategis seperti sistem kerja kontrak, outsourcing, pengupahan, pensiun, hak berserikat, dan jam kerja layak.

4. Membangun narasi alternatif dan posisi kritis serikat pekerja, khususnya FSP RTMM-SPSI, terhadap kebijakan ketenagakerjaan yang semakin berpihak pada fleksibilitas pasar dan kepentingan korporasi.

5. Merumuskan rekomendasi kebijakan dan strategi advokasi organisasi dalam menghadapi pembahasan RUU Ketenagakerjaan 2025, serta memperkuat posisi tawar dalam forum bipartit, tripartit, maupun legislasi nasional.

6. Mengonsolidasikan solidaritas dan gerakan bersama antar elemen serikat pekerja untuk memperjuangkan keberlanjutan norma-norma kerja layak, jaminan sosial, dan keadilan sosial bagi seluruh pekerja Indonesia.

Tujuan-tujuan ini diharapkan menjadi landasan strategis bagi FSP RTMM[1]SPSI untuk memperkuat gerakan buruh dalam membaca, menyikapi, dan mempengaruhi arah kebijakan ketenagakerjaan nasional ke depan.

WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN SEMINAR KETENAGAKERJAAN

1. Hari/Tanggal : Rabu, 25 Juni 2025

2. Waktu : Pukul 08.30 – 10.00 WIB

3. Tempat : Hotel Grand Inna Medan, Sumatera Utara.

PESERTA, NARASUMBER, DAN MODERATOR SEMINAR KETENAGAKERJAAN

1. Peserta : Peserta RAKERNAS II – RAPIMNAS IV FSP RTMM-SPSI Tahun 2025 (Unsur PP-PD-PC FSP RTMM-SPSI dan PUK SP RTMM)

2. Narasumber : a. Dr. Mangaraja Manurung, SH, MH (Pakar Hukum Ketenagakerjaan dan Hukum Perburuhan) b. Bidang Hukum PP FSP RTMM-SPSI c. Mitra Industri RTMM

3. Moderator : Harjono. SE

PENUTUP

Seminar Ketenagakerjaan ini bukan sekadar forum diskusi, tetapi medan perjuangan intelektual dan strategis bagi seluruh elemen gerakan pekerja untuk bangkit, bersatu, dan bersuara dalam menghadapi gelombang perubahan regulasi ketenagakerjaan di Indonesia yang semakin mendegradasi hak-hak dan kesejahteraan pekerja. Di tengah derasnya arus liberalisasi pasar tenaga kerja dan revisi norma-norma perlindungan, FSP RTMM-SPSI hadir bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku sejarah yang akan menentukan arah masa depan dunia kerja. Melalui forum ini, kita tidak hanya membedah pasal demi pasal, tetapi juga menghidupkan kembali semangat perjuangan kolektif demi memastikan setiap kebijakan berpihak pada keadilan sosial dan martabat pekerja Indonesia. Maka dari itu, seminar ini adalah panggilan bagi seluruh pejuang ketenagakerjaan untuk bersiap, bersikap, dan bertindak! Bersama, kita jaga konstitusi ketenagakerjaan! Bersama, kita kawal masa depan pekerja Indonesia! Karena keadilan kerja adalah pondasi bangsa yang bermartabat

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.