NOMOR : 03/RAPIMNAS IV/FSP RTMM-SPSI/VI/2025 TENTANG EVALUASI NORMA KETENAGAKERJAAN DAN REGULASI INDUSTRI YANG MERUGIKAN

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, RAPIMNAS IV FSP RTMM-SPSI 2025 setelah:
Menimbang :
- Bahwa Rapat Pimpinan Nasional adalah rapat pengambilan keputusan tertinggi di bawah Musyawarah Nasional.
- Bahwa RAPIMNAS IV FSP RTMM-SPSI 2025 dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2026 di Hotel Grand Inna Medan, Sumatera Utara.
- Bahwa Rekomendasi RAKERNAS II FSP RTMM-SPSI 2025 Tentang Evaluasi Norma Ketenagakerjaan dan Regulasi Industri perlu ditetapkan dalam Keputusan RAPIMNAS IV FSP RTMM-SPSI 2025.
Mengingat :
- Pancasila dan UUD 1945.
- UU No. 21 Tahun 2000 Tentang SP/SB.
- AD, ART, PO SP RTMM – FSP RTMM-SPSI 2020 – 2025.
- Keputusan-keputusan MUNAS VI FSP RTMM-SPSI 2020 Tentang Program Umum dan Rekomendasi Organisasi
- Keputusan-keputusan RAPIMNAS I, II, III FSP RTMM-SPSI Tahun 2022, 2023, dan 2024.
Mempertimbangkan :
- Hasil Rapat Pleno III di Forum RAPIMNAS IV FSP RTMM-SPSI 2025.
- Pandangan, saran, dan pendapat peserta RAPIMNAS IV FSP RTMM-SPSI 2025
Menetapkan : KEPUTUSAN RAPIMNAS IV FSP RTMM-SPSI 2025 TENTANG EVALUASI NORMA KETENAGAKERJAAN DAN REGULASI INDUSTRI YANG MERUGIKAN
Pertama : Penjabaran teknis Keputusan RAPIMNAS IV FSP RTMM-SPSI 2025 Tentang Evaluasi Norma Ketenagakerjaan dan Regulasi Industri Yang Merugikan terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.
Kedua : Evaluasi Norma Ketenagakerjaan dan Regulasi Industri Yang Merugikan sebagaimana dijelaskan pada diktum pertama, dipandang perlu ditetapkan dalam keputusan RAPIMNAS IV FSP RTMM SPSI Tahun 2025, agar seluruh jajaran struktural kepemimpinan SP RTMM – FSP RTMM-SPSI di seluruh Indonesia mendukung dan mengawalnya sesuai kewenangan tingkatan organisasi masing-masing.
Ketiga : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
Lampiran 1 – Keputusan RAPIMNAS IV FSP RTMM-SPSI Nomor : 03/RAPIMNAS IV/FSP RTMM-SPSI/VI/2025
Tentang Evaluasi Norma Ketenagakerjaan & Regulasi Industri Yang Merugikan
1. Evaluasi Norma Ketenagakerjaan yang Merugikan
Pada Tanggal 31 Oktober 2024 Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan gugatan Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 mengenai Uji Materi atas UU No. 6 tahun 2023 tentang Pengesahan PERPPU No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dalam Putusan MK No. 61 / PUU-XXI / 2023 ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh Serikat Pekerja atas beberapa muatan pasal dalam UU No. 6 tahun 2023.
Ada 21 muatan materi pasal yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 61/PUU-XXI/2023 sebagai berikut :
- Pasal 42 ayat (1 ) dalam pasal 81 UU 6/2023 Frase Pemerintah Pusat dimaknai “menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri Tenaga Kerja.”
- Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 yang diubah dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023. Yang menyatakan “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki” diubah menjadi “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”.
- Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 Jangka waktu selesainya PKWT berdasarkan Perjanjian Kerja. Diubah “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan.”
- Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13 UU 6/2023 Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. diubah “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.”
- Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 UU 6/2023 Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Diubah menjadi “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.”
- Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam I (satu) minggu. Diubah “ istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam I (satu) minggu.atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.”
- Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (21, dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Putusan MK menghapus kata “ Dapat”
- Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dimaknai “ termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.”
- Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dimaknai “ dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.”
- Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 mengenai Struktur dan Skala Upah.Dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional.”
- Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi. Dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota.”
- Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 Indeks Tertentu dimaknai “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh.”
- Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 Dalam Keadaan tertentu dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
- Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 UU 6/2023 Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan. dimaknai “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan.”
- Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 33 UU 6/2023 Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.”
- Pasal 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36 UU 6/2023 Dalam hal Perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, Upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh Pekerja/Buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. dimaknai “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.”
- Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39 UU 6/2023 Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan. dimaknai “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif.”
- Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6 Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. dimaknai, “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.”
- Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023 Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. dimaknai, “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.”
- Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49 Lampiran UU 6/2023 Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya. dimaknai, “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam UU PPHI.”
- Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 UU 6/2023 Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: dimaknai, “paling sedikit.”
Salah satu poin penting dari Putusan MK No. 61 / PUU-XXI / 23 selain daripada diubahnya 21 ketentuan pasal dalam UU No. 6 tahun 2023 adalah Mahkamah Konstitusi juga meminta agar dibuat UU Ketenagakerjaan yang baru secara khusus , agar tidak menimbulkan kebingungan bagi para pihak yang ingin mengetahui mengenai Norma Ketenagakerjaan , mengingat saat ini Norma Ketenagakerjaan yang berlaku adalah UU 13 2003 tentang Ketenagakerjaan , UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja , dan Putusan MK .
Putusan MK yang bersifat Binding dan Final dan Erga Omnes tentunya harus dijalankan oleh semua Pihak . Undang -Undang yang dibuat memang seharusnya mencermikan napas konstitusi dan Pancasila sebagai landasan hukum dan Ideologis . UU ketenagakerjaan haruslah mencerminkan jaminan keberlangsungan atas pekerjaan yang layak , jaminan atas penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak sandang pangan dan papan , jaminan atas perlakuan yang layak tanpa diskriminasi dan Intimidasi , jaminan atas perlindungan pemenuhan hak hak pekerja dan jaminan penegakan hukum atas pelanggaran terhadap hak-hak pekerja . Mengapa hal ini sangatlah penting dalam UU Ketenagakerjaan ? karena posisi Pekerja dihadapan Pengusaha sangatlah Lemah , sehingga Negara haruslah hadir menjaga nilai nilai kesetaraan antara pekerja dan pengusaha.
DPR RI merespon putusan MK ini dengan memasukan RUU Ketenagakerjaan dalam PROLEGNAS 2025 sebagai Hak Inisiatif DPR . Tentu nya kita semua berharap agar UU Ketenagakerjaan yang baru nantinya akan dapat mengakomodir kepentingan semua pihak sehingga mencerminkan UU Ketenagakerjaan yang bernapaskan Nilai Nilai Pancasila dan UUD 1945 . Dibatalkannya UU No. 2 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Oleh Mahkamah Konstitusi dan Putusan MK No. 61 / PUU-XXI / 23 yang mengubah 21 pasal dalam klaster Ketenagakerjaan harusnya menjadi pelajaran berharga bagi pembuat Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah , bahwa partisipasi aktif dan Kontributif para Stakeholder Keteanagakerjaan sangatlah dibutuhkan dalam pembuatan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang Berkeadilan .
Sebagai bentuk partisipasi Aktif dalam pembentukan Undang – Undang Ketenagakerjaan yang baru , Maka PP FSP RTMM-SPSI telah berupaya membuat naskah Kajian Perubahan UU Ketenagakerjaan yang mencerminkan nilai nilai pencasila dan UUD 1945.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan diatas , maka dengan ini FSP RTMM-SPSI mendorong agar .
- DPR dan Pemerintah dalam membuat UU Ketenagakerjaan yang baru haruslah berlandaskan filosofis dan hukum dari UUD 1945 dan Pancasila
- UU Ketenagakerjaan yang baru ini haruslah bernapaskan Jaminan atas keberlangsungan pekerjaan yang layak , jaminan atas penghasilan yang memenuhi kebutuhan Pangan Sandang Papan , jaminan atas perlakuan yang layak tanpa diskriminasi dan Intimidasi , jaminan atas perlindungan pemenuhan hak hak pekerja dan jaminan penegakan hukum atas pelanggaran terhadap hak-hak pekerja
- DPR dan Pemerintah dalam pembuatan UU ketenagakerjaan ini lebih transparan dan membuka ruang diskusi seluas luasnya dalam menampung aspirasi dari semua pihak , terutama aspirasi dari Pekerja
- Penegakan hukum menjadi poin penting dalam UU Ketenagakerjaan , karena selain memberikan perlindungan terhadap pekerja , hal ini juga memastikan terciptanya persaingan dunia Usaha yang adil,
- Pemerintah dan DPR agar mempertimbangkan masukan dan saran dari FSP RTMM-SPSI melalui Naskah kajian UU Ketenagakerjaan dan Draft RUU Ketenagakerjaan yang telah dibuat oleh FSP RTMM-SPSI
Jaminan Pensiun yang Berkeadilan Bagi Pekerja
Pada tahun 2004 lahir sebuah Undang – Undang yang sangat bersejarah di Indonesia yaitu UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional . Undang – Undang ini mereformulasi sistem Jaminan Sosial yang ada di indonesia menjadi lebih komprenhensif .
BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan merupakan produk yang lahir dari UU SJSN ini . BPJS Ketenagakerjaan sebelum lahirnya PP No. 45 tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja , Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian . Setelah adanya PP No. 45 tahun 2015 tentang jaminan Pensiun , maka jaminan bagi pekerja bertambah satu lagi yaitu Jaminan Pensiun.
Adanya Jaminan Pensiun bagi pekerja Swasta ini sangatlah disambut gembira dan antusias oleh para pekerja , sudah lama sekali para pekerja swasta di Indonesia mendambakan adanya jaminan Pensiun setelah mereka berhenti bekerja , seperti yang selama ini dinikmati oleh Pegawai negeri. Tetapi setelah membaca secara utuh PP No. 45 tahun 2015 ini , pekerja sangatlah kecewa, karena pemanfaatan jaminan pensiun ini tidak bisa langsung dirasakan oleh pekerja saat mereka memasuki usia pensiun dari perusahaan tempat mereka bekerja. Aturan yang ada dalam PP No. 45 tahun 2015 ini menetapkan usia pensiun pertama kali 56th dan pada tahun 2019 ditetapkan 57th dan akan bertambah 1th setiap 3th sekali sampai dengan usia maksimal 65th . Hal ini dirasa sangatlah tidak adil bagi para pekerja , mengingat konotasi kata pensiun adalah berhenti bekerja karena usia tertentu yang ditentukan oleh instansi tempat bekerja. Para pekerja khawatir mereka tidak sempat menikmati Jaminan pensiun apabila masih harus menunggu beberapa tahun , dan khawatir nantinya jaminan pensiun mereka akan menguap begitu saja seperti yang terjadi di JIWASRAYA , TASPEN, BAPERTUM.
Jika kita mengacu pada UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN , maka penyebutan usia pensiun itu ada di dalam dua ( 2 ) program jaminan sosial , yaitu Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun . Aturan mengenai Usia Pensiun di Jaminan Pensiun baru muncul di tahun 2015 , sementara aturan mengenai Usia Pensiun di jaminan Hari Tua sudah berjalan dengan baik jauh sebelum Jaminan Pensiun ini lahir. Bagaimana Jaminan Hari Tua mengatur Usia Pensiun ? Jaminan Hari Tua mengatur usia pensiun berdasarkan ketentuan tempat peserta bekerja, jadi sangatlah berbeda dengan ketentuan usia pensiun menurut BPJS Pensiun.
Seharusnya aturan mengenai Usia Pensiun ini selaras dengan ketentuan pasal 39 ayat 2 UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN yaitu Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap. Dengan membaca dan mencermati ketentuan pasal 39 ini , maka sudah jelas yang dimaksud Usia pensiun adalah Usia Pensiun di tempat peserta bekerja , karena kehilangan pengahsilan akan timbul setelah memasuki usia pensiun di tempatnya bekerja dengan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja karena Pensiun.
Esensi daripada jaminan Pensiun dengan melihat dan mencermati UU No. 40 tahun 2004 adalah adanya jaminan keberlangsungan pemenuhan Drajat kehidupan setelah seseorang tidak memiliki penghasilan kembali karena berhenti bekerja dengan memasuki usia pensiun di tempat dia bekerja. Dikhawatirkan setelah tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan dikarenakan usia yang sudah tidak memungkinkan bersaing dengan usia produktif maka orang tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sehingga dari sinilah sebagai perwujudan pelaksanaan UUD 1945 yang mewajibkan negara menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaan maka lahir jaminan Pensiun dalam UU SJSN.
Salah satu yang menjadi kekhawatiran para pekerja juga adalah manfaat pensiun bagi peserta yang belum memenuhi ketentuan masa iur 15th , pencairan seluruh dana iuran nya baru bisa dilakukan setelah menginjak usia pensiun, bukan saat berhenti bekerja karena pensiun. Hal ini dirasa tidak adil, karena setelah berhenti bekerja itu maka dibutuhkan dana yang besar untuk memulai hidup baru tanpa adanya penghasilan lagi , sehingga adanya pencairan dana pensiun tentunya sangatlah dibutuhkan pada waktu itu , hal lain yang dikhawatirkan adalah membuat dana Pensiun tersebut tidak bisa sampai ke tangan yang berhak apabila peserta meninggal dunia dan lupa memberitahukan kepada ahli warisnya mengenai adanya Dana Jaminan Pensiun yag belum diambil.
Dengan berdasarkan apa yang sudah diuraikan diatas , maka FSP RTMM-SPSI mendorong untuk:
- Pemerintah Merevisi pasal 15 dan pasal 24 ayat 2 PP No. 45 tahun 2015 mengenai usia pensiun menjadi berbunyi Usia pensiun berdasarkan ketentuan di perusahaan tempat peserta bekerja.
- Kepada seluruh perangkat PUK , PC dan PD untuk berkirim surat kepada Presiden dan DPR untuk meminta direvisi nya aturan mengenai usia Pensiun
- Melakukan upaya hukum Judicial Review terkait ketentuan Usia Pensiun ini apabila pemerintah tidak mengindahkan aspirasi dari FSP RTMM-SPSI.
2. Evaluasi Regulasi Industri yang Merugikan
Dalam upaya meningkatkan hasil yang lebih maksimal dari waktu ke waktu, atas tugas dan tanggung jawab FSP RTMM-SPSI sebagaimana ketentuan UU N0. 21 Tahun 2000, Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Khususya pasal 4 (empat) ayat (1) & (2), pasal 25 (dua puluh lima), pasal 27 (dua puluh tujuh) yang mengatur, tujuan, fungsi, hak, dan kewajiban SP/SB, yang pada ini pokoknya adalah: Serikat Pekerja / Serikat Buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
Untuk mewujudkan uraian tersebut diatas, FSP RTMM-SPSI telah menetapkan sistem kerja advokasi terintegrasi yang lebih mengedepankan tanggung jawab. Industri sebagai tempat kerja, sawah ladang, sumber mata pencaharian pekerja, perlu dijamin kelangsungannya demi kelangsungan kerja, serta pertumbuhannya demi peningkatan kesejahteraan bersama. Sehingga dalam upaya peningkatan perlindungan dan pembelaan pekerja perlu sejalan dan memperhatikan atas perilaku tertib dan disiplin bagi setiap anggota. Demikian pula dalam upaya peningkatan kesejahteraan pekerja harus sejalan dan memperhatikan produktivitas kerja serta berbagai kebijakan dan/atau regulasi pemerintah yang langsung atau tidak langsung dapat menggangu kelangsungan maupun pertumbuhan industri sebagai tempat kerja.
Industri rokok, tembakau, makanan, minuman, umumnya adalah industri padat karya yang mempekerjakan pekerja dalam jumlah yang cukup banyak. Terlebih industri rokok terutama Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang merupakan mayoritas anggota SP RTMM – FSP RTMM-SPSI, dengan pendidikan yang terbatas, para kaum Ibu yang menjadi tulang punggung utama kehidupan keluarganya. Industri RTMM sebagian besar menyerap hasil pertanian dari petani, yang merupakan mata rantai perekonomian dari desa sampai kota yang menciptakan jaringan pekerjaan yang saling membutuhkan. Sehingga industri RTMM dapat dikatakan berkontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja (menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak dengan strata pendidikan yang terbatas), tentunya ikut dapat menjaga dan meningkatkan perekonomian desa sampai kota, bahkan menjadi salah sumber pemasukan negara yang cukup besar bila dibandingkan dengan BUMN, untuk pembangunan Indonesia (Tahun 2023 pemasukan dari cukai sebesar 213,5 Triliun).
Industri sebagai salah satu penyangga perekonomian yang juga dapat dikatakan sebagai bagian aset Indonesia sangat memerlukan kepastian dan stabilitas demi kelangsungan dan pertumbuhan usaha secara nasional dan internasional, terlebih di era global saat ini. Sehingga deregulasi dan revitalisasi indutri padat karya seharusnya perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, setidaknya pada aspek umum yang meliputi: birokrasi berbelit biaya tinggi, tumpah tindih aturan, kepastian hukum. Demikian pula terhadap regulasi khusus yang dikaitkan kesehatan, dan lingkungan, yang cenderung dominan didorong dari luar dengan mengusung isu populis tersebut, yang langsung atau tidak langsung dapat merongrong kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia setidaknya dari aspek pembatasan, pengendalian produk-produk strategis Indonesia, yang secara langsung dan/atau tidak langsung terbatasi produksinya, penjualannya, promosinya, konsumsinya yang dapat melemahkan perekonomian bangsa Indonesia.
Sepakat perlunya pengendalian terhadap produk-produk yang dapat berdampak kepada kesehatan dan kelangsungan lingkungan. Namun demikian keberadaan kedaulatan dan kemampuan kemandirian Indonesia yang bersumber kepada industri strategis nasional (industri padat karya) perlu juga dipertahankan untuk menjamin hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak demi kemanusiaan. Mitigasi yang lebih dalam dan akurat atas tujuan pengendalian harus memperhatikan seluruh sendi-sendi kehidupan dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terukur dari waktu ke waktu nilai keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.
Kita tidak anti regulasi, tapi regulasi yang membebani bahkan cenderung mematikan industri, dan pada akhirnya mengorbankan pekerja, dari turunnya penghasilan sampai kepada hilangnya pekerjaan perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, antara lain:
a. Industri Hasil Tembakau (IHT)
- Menolak kenaikan cukai, harga jual eceran (HJE), dan pajak daerah, karena rata-rata jumlah total besaran pungutan (cukai, PPN, Pajak Daerah) yang dikutip pemerintah sekitar 70% dari harga rokok. Kenaikan-kenaikan tersebut dapat memicu terjadinya penurunan produksi dan efisiensi, sehingga terjadinya PHK pekerja di sektor IHT.
- Menolak aturan produksi terkait kemasan polos tanpa merek dan jumlah batang dalam satu bungkus; menolak aturan penjualannya yaitu radius 200m dari tempat pendidikan, bermain anak, tempat ibadah, dll dan penetapan display tertutup, dll; menolak aturan promosi produk IHT yaitu radius 500m, jam tayang, sponsorship, dll; serta menolak aturan konsumsi produk IHT yaitu Kawasan Tanpa Rokok yang di perluas, dll karena akan menekan produk IHT yang legal dan satu sisi produk IHT yang ilegal malah luput dari pengawasan pemerintah, hal ini dapat mengancam kelangsungan usaha dan kelangsungan kerja pekerja di sektor IHT.
- Mendorong dan mengusulkan kepada Pemerintah agar dalam membuat regulasi Industri Hasil Tembakau (IHT) wajib melibatkan Pekerja atau Serikat Pekerja sebagai salah satu pihak yang akan terdampak kelangsungan kerjanya dan terganggu kesejahterannya.
- Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI dibantu oleh Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Unit Kerja, bersama-sama secara aktif dan konsisten mengawal proses pembuatan semua regulasi yang menyangkut produk IHT oleh pemerintah serta melakukan advokasi industri, baik secara litigasi maupun non-litigasi.
b. Industri Makanan Minuman (IMM) dan Kemasannya
- Perlu dikaji ulang dampak dari rencana Pemerintah akan mengatur tentang faktor kesehatan dari konsumsi produk industri makanan minuman, yaitu:
- Pengendalian penggunaan Gula, Garam, Lemak (GGL);
- Pengendalian Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK); dan
- Kemasan Plastik
- Pemerintah harus memperhatikan dengan teliti dan mendalam atas dampak langsung maupun tidak langsung atas stabilitas bahkan ruang untuk tumbuh produk tersebut diatas secara terukur dan bertahap, dengan mempertimbangan dampak-dampaknya. Mendahulukan penerapannya bahkan memperketat produk makanan minuman import, demi menjaga stabilitas industri dalam negeri. Serta memperketat peredaran produk makanan minuman gelap.
- Mendorong dan mengusulkan kepada Pemerintah, agar dalam membuat regulasi Industri Makanan Minuman (IMM) wajib melibatkan Pekerja atau Serikat Pekerja sebagai salah satu pihak yang akan terdampak kelangsungan kerjanya dan terganggu kesejahteranny.
- Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI dibantu oleh Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Unit Kerja, bersama-sama secara aktif dan konsisten mengawal proses pembuatan semua regulasi yang menyangkut produk Industri Makanan Minuman (IMM) oleh pemerintah serta melakukan advokasi industri, baik secara litigasi maupun non-litigasi.