Regulasi yang Memberatkan: Tantangan Ganda bagi Industri Makanan-Minuman dan Hasil Tembakau

PP 28 Tahun 2024 – Dalam beberapa tahun terakhir, industri makanan dan minuman (mamin) serta industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia menghadapi tekanan yang semakin besar dari sisi regulasi. Meskipun kebijakan pemerintah bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan penerimaan negara, implementasi sejumlah regulasi justru menimbulkan beban tambahan yang signifikan bagi pelaku usaha. https://www.serikatpekerjartmm.com/t-o-r-seminar-ketenagakerjaan-nasional/
Download File Inventarisasi Pasal – pasal
1. PP 28 Tahun 2024 Industri Makanan dan Minuman: Antara Kesehatan Publik dan Beban Usaha
Pemerintah melalui PP No. 28 Tahun 2024 menetapkan pengendalian terhadap kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) dalam produk pangan olahan. Kebijakan ini mencakup:
- Penetapan batas maksimal kandungan GGL.
- Kewajiban pencantuman informasi GGL pada kemasan.
- Larangan iklan dan promosi bagi produk yang melebihi batas GGL.
- Rencana pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Meskipun bertujuan baik, regulasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri, terutama UMKM, karena berpotensi menurunkan daya saing produk lokal dan meningkatkan biaya produksi. Hingga kini, PMK sebagai dasar pungutan cukai MBDK belum diterbitkan, menciptakan ketidakpastian hukum dan bisnis.
2. Industri Hasil Tembakau: Terjepit di Antara Cukai dan Standarisasi
Industri hasil tembakau juga tidak luput dari tekanan regulasi. Kenaikan tarif cukai yang agresif setiap tahun, tanpa mempertimbangkan daya tahan industri, telah menyebabkan banyak pabrikan kecil dan menengah gulung tikar. Di Sumatera Utara, misalnya, dari lebih dari 60 pabrikan pada 1950-an, kini hanya tersisa empat, semuanya berlokasi di Pematangsiantar.
Selain itu, kebijakan seperti:
- Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap kertas sigaret (Rp 4 juta/ton),
- Pemberlakuan SNI wajib untuk bahan baku rokok melalui Permenperin No. 63 Tahun 2024,
telah memperberat beban industri. Bahkan produk rokok untuk ekspor pun tidak dibebaskan dari kewajiban SNI, meskipun konsumen akhirnya berada di luar negeri.
3. Perizinan Berbasis Risiko: Janji Kemudahan yang Belum Terwujud
Sistem OSS RBA (Online Single Submission Risk-Based Approach) yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 2025 diharapkan menjadi solusi untuk menyederhanakan perizinan. Namun, dalam praktiknya, pelaku usaha masih menghadapi berbagai kendala:
- Permohonan izin yang tidak terdeteksi sistem.
- Proses yang tetap memerlukan tatap muka.
- Ketidakjelasan waktu penerbitan izin.
- Biaya tinggi untuk perubahan dokumen lingkungan hanya untuk penambahan KBLI.
Penutup
Regulasi yang bertujuan baik tetap perlu mempertimbangkan kesiapan industri dan dampaknya terhadap keberlangsungan usaha. Tanpa pendekatan yang seimbang dan dialog yang terbuka antara pemerintah dan pelaku industri, kebijakan yang ada justru dapat menghambat pertumbuhan sektor strategis ini dan mengurangi kontribusinya terhadap perekonomian nasional. https://youtu.be/w_bZpeE5SG0?si=5RGP4PNehtj3lXQQ