DAMPAKNYA BAGI INDUSTRI RTMM: (IHT & MAMIN) Program Advokasi Industri PP FSP RTMM-SPSI
Pengantar
Program Advokasi Industri adalah salah satu Keputusan Musyawarah Nasional (MUNAS) VI, FSP RTMM-SPSI, 2020. Program Umum sebagai salah satu Keputusan MUNAS VI secara khusus menyebutkan tentang program Advokasi Regulasi Industri yang wajib dijalankan oleh seluruh jenjang struktur kepemimpinan SP RTMM – FSP RTMM-SPSI di semua tingkatan.
Keputusan ini diperkuat dengan keputusan Rapat Pimpinan Nasional (RAPIMNAS) yang dilaksanakan setiap tahun melalui bentuk-bentuk kegiatan yang lebih fokus dan realistis sesuai dengan perubahan kebijakan atau regulasi yang berkaitan dengan industri RTMM. Program ini penting bagi FSP RTMM-SPSI sebagai bentuk tanggung jawab untuk melindungi dan membela industri yang merupakan sawah ladang para pekerja, anggota SP RTMM-FSP RTMM-SPSI.
Sejauh ini, program Advokasi Regulasi Industri lebih difokuskan pada industri hasil tembakau (IHT) yang setiap tahun selalu dihantui oleh regulasi baru yang sungguh amat berdampak pada kelangsungan IHT dan mengancam pekerjaan dan penghasilan para pekerja/anggota.
Akan tetapi setelah keluarnya Perpres No. 18, 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020 – 2024, terutama terkait Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tentang Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS) melalui pembangunan berwawasan kesehatan (HiAP = Health in All Policies). Ada rencana untuk menerapkan Pembangunan yang berwawasan kesehatan adalah dengan cara penerapan cukai pada produk pangan yang berisiko tinggi terhadap kesehatan berupa GGL dan minuman berkarbonasi.
Oleh karenanya, industri makanan dan minuman, tempat para anggota bekerja juga dibidik menjadi sasaran prioritas pengenaan cukai di luar industri hasil tembakau dan alkohol serta etil alkohol. Setelah tertunda beberapa tahun, berbagai media memberitakan bahwa tahun 2024 cukai terhadap produk pangan ini akan diberlakukan. GERMAS ini juga menyasar pengendalian produk IHT berupa rokok dengan merevisi PP No. 109, 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Revisi PP No. 109, 2012 ini tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan. Berikut akan diuraikan apa dampak RPP Kesehatan ini bagi industri hasil tembakau (IHT) dan industri makanan dan minuman (MAMIN).
RPP Kesehatan dan IHT
Produk IHT berupa rokok sesuai dengan ketentuan dalam UU RI No. 39, 2007 tentang Perubahan Atas UU RI No. 11, 1995 tentang Cukai tergolong barang kena cukai (BKC) yang:
- konsumsinya perlu dikendalikan;
- peredarannya perlu diawasi;
- pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup ; atau
- pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini.
Atas dasar ketentuan-ketentuan tersebut di atas, pengaturan dan pengendalian terhadap rokok menyasar 2 hal pokok, yakni pungutan negara (fiskal): cukai dan pajak rokok yang terus dinaikkan dan aspek kesehatan masyarakat dan lingkungan (non fiskal). Ketentuan fiskal rokok ditetapkan oleh Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang dikeluarkan setiap tahun dan aspek non fiskal diatur oleh Kementerian Kesehatan melalui UU RI No. 36, 2009 tentang Kesehatan dan turunannya dalam PP No. 109, 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Apabila ditotal, selama 10 tahun kenaikannya mencapai 106,03%. Sedangkan dari sisi pajak, yaitu pajak pertambahan nilai hasil tembakau naik 2 kali, yaitu dari 8,7% menjadi 9,1% dan kini menjadi 9,9%. Golongan atau layer perusahaan berkurang dari 12 menjadi 10 dan sekarang 8 dan rumornya akan menjadi 5 layer saja.
Beberapa data di atas menunjukkan bahwa pengendalian produk IHT berupa rokok dari sisi fiskal luarbiasa. Secara umum dapat dianalogikan, apabila perusahaan membuat rokok satu bungkus/pak seharga Rp.10.000,-maka perusahaan sudah harus membayar kepada negara sebelum rokok itu diproduksi sebesar minimal Rp.7.000,- Sisa Rp.3.000,- digunakan untuk pengadaan bahan baku, biaya operasional, biaya tenaga kerja, dll.
Aspek Kesehatan (non fiskal) dalam PP No. 109, 2012
Sementara itu, pengendalian dari sisi Kesehatan juga begitu ketat. Pengendalian dimulai dari proses produksi, distribusi hingga pemasaran produk rokok. Terkait aspek non fiskal, PP No. 109, 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan mengatur sebagai berikut:
Produksi
- Uji tar dan nikotin. Uji tar dan nikotin dilaksanakan di institusi yang telah terakreditasi dan harus dilakukan sebelum rokok diproduksi atau menjadi syarat perijinan merk produk.
- Pencantuman peringatan dan informasi kesehatan. Peringatan kesehatan berupa 5 gambar pada kemasan produk rokok kecuali untuk produk rokok dari perusahaan non PKP yang jumlah produksinya setahun maksimal 24.000.000,- batang (24 juta batang), klobot, klembak menyan, cerutu kemasan per batang.
- Produk sigaret mesin putih (SPM) dilarang dikemas kurang dari 20 batang.
- Gambar peringatan kesehatan harus memenuhi 40% kemasan sisi lebar muka maupun belakang dengan tulisan font dan warna tertentu.
- Wajib mencantumkan kandungan tar – nikotin pada kemasan dengan posisi dan font tertentu.
- Pencantuman pernyataan: “dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan perempuan hamil”;
- Pencantuman: kode produksi, tanggal, bulan, dan tahun produksi, serta nama dan lokasi produsen.
- Pada sisi samping kemasan lainnya dapat dicantumkan pernyataan, “tidak ada batas aman” dan “mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya sertalebih dari 43 zat penyebab kanker”.
- Larangan untuk mencantumkan kata-kata promotif, seperti: mild, light, slim, special, full flavour, dll.
Peredaran
- Larangan menjual memakai mesin layanan mandiri, kepada anak-anak di bawah usia 18 tahun dan Perempuan hamil.
- Pengendalian iklan produk pada media cetak, penyiaran, media teknologi informasi, dan media luar ruang.
- Cantumkan gambar dan peringatan kesehatan paling sedikit 10% dari durasi iklan dan/atau 15% dari total luas iklan.
- Tampilkan tulisan +18; tidak berwujud rokok; merk atau nama produk; tidak menggunakan kata-kata atau kalimat yang menyesatkan; tidak merangsang atau menyarankan orang untuk merokok; tidak menampilkan anak, remaja, dan perempuan hamil; tidak menggunakan tokoh kartun; dan tidak bertentangan dengan norma dalam masyarakat.
- Iklan di media cetak: tidak di halaman depan atau belakang, tidak berdekatan dengan iklan makanan minuman, tidak memenuhi seluruh halaman, tidak di media anak-anak dan remaja, dan perempuan.
- Iklan di media penyiaran hanya dapat ditayangkan dari pukul 21.30 sampai 05.00 waktu setempat.
- Iklan di media teknologi informasi harus memenuhi ketentuan situs merk dagang produk rokok yang menerapkan verifikasi umur karena hanya untuk umur 18 tahun ke atas.
- Iklan di media luar ruang harus tidak di jalan portokol, di kawasan tanpa rokok, tidak memotong/melintang jalan, dan ukurannya tidak boleh melebihi 72 m2.
- Ketentuan lebih lanjut tentang iklan di media luar ruang di atur oleh pemerintah daerah.
- Larangan promosi produk rokok: memberi cuma-cuma; tidak menggunakan merk atau logo produk rokok.
- Sponsor kegiatan tidak boleh menampilkan merk atau logo produk rokok dan tidak bertujuan untuk promosi.
- Larangan peliputan media untuk sponsor kegiatan dari produk rokok.
- Sponsor untuk program CSR tidak boleh mencantum merk atau logo produk rokok dan tidak untuk tujuan promosi.
- Perlindungan khusus kepada anak-anak dan perempuan hamil. Dilarang unuk menyuruh anak di bawah usia 18 (depalan belas) tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi rokok; dilarang mengikutsertakan anak di bawah 18 tahun dalam kegiatan promosi rokok.
Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
- Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok.
- KTR meliputi: sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat anak bermain, dan tempat umum lainnya yang ditetapkan.
- Larangan untuk produksi, jual, dan promosi di KTR.
- KTR menyediakan tempat khusus untuk merokok.
Peran serta Masyarakat
- Masyarakat berpartisipasi memberikan masukan, kritisan terhadap pengendalian produk rokok.
- Masyarakat mengawasi dan melaporkan pelaksanaan pengendalian produk rokok.
Aspek Kesehatan (non fiskal) dalam RPP Kesehatan
RPP Kesehatan merupakan turunan UU No. 17, 2023 tentang Kesehatan sekaligus merupakan perwujudan rencana revisi PP No. 109, 2012 sesuai amanat Perpres No. 18, 2020 tentang RPJMN. RPP Kesehatan menyebutkan bahwa produk rokok merupakan salah satu sumber penyakit tidak menular sehinga pengaturannya menjadi lebih ketat dibandingkan dengan PP No. 109, 2012. Pengaturan tentang produk rokok dalam RPP Kesehatan adalah sebagai berikut:
Produksi
- Zat adiktif yang diatur dalam RPP ini mencakup produk tembakau dan rokok eletronik.
- Uji tar dan nikotin dilaksanakan oleh badan pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan (BPOM).
- Larangan untuk mengemas produk rokok di bawah 20 batang.
- Pengaturan cairan nikotin per cartridge hanya 2 ml dan 10 ml untuk kemasan/wadah isi ulang.
- Pencantuman peringatan kesehatan berupa tulisan dan gambar pada permukaan kemasan dengan ukuran yang akan ditetapkan Menteri.
- Wajib mencantumkan informasi pada label setiap kemasan dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca dengan ketentuan: pernyataan mengandung nikotin, tar, dan/atau zat lainnya; pernyataan “dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan perempuan hamil”; kode produksi, tanggal, bulan, dan tahun produksi, serta nama dan alamat produsen; dan pernyataan “tidak ada batas aman” dan “mengandung lebih dari 7000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 69 zat penyebab kanker” untuk produk tembakau.
Peredaran
- Larangan menjual menggunakan mesin layanan diri; kepada anak di bawah usia 18 dan perempuan hamil, secara eceran satuan per batang, menggunakan jasa situs atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
- Larangan untuk mengiklankan di media luar ruang, situs, dan/atau aplikasi elektronik komersial, media sosial, dan tempat penjualan produk tembakau dan rokok elektronik.
- Pengendalian iklan di media cetak dan penyiaran:
- mencantumkan peringatan kesehatan untuk iklan bergerak di media penyiaran berupa televisi harus berukuran full screen selama paling singkat 10% (sepuluh persen) dari total durasi iklan dan tidak kurang dari 2 (dua) detik, atau untuk iklan tidak bergerak di media penyiaran berupa televisi atau media cetak harus berukuran sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari total luas iklan;
- mencantumkan tulisan “Dilarang menjual dan memberi kepada anak di bawah 18 tahun dan perempuan hamil”;
- tidak memperagakan, menggunakan, dan/atau menampilkan wujud atau bentuk produk tembakau dan rokok elektronik, atau sebutan lain yang dapat diasosiasikan dengan merek produk tembakau dan rokok elektronik;
- tidak mencantumkan harga jual;
- tidak menampilkan anak, remaja, dan/atau ndust hamil dalam bentuk gambar dan/atau tulisan; dan
- tidak menggunakan kartun atau animasi sebagai bentuk tokoh iklan.
- Penayangan iklan di media penyiaran: 23.00 – 03.00 waktu setempat.
- Larangan untuk melakukan promosi dan sponsor dalam bentuk apapun yang melibatkan masyarakat umum (sosial, pendidikan, olahraga, kebudayaan).
- Bantuan dalam bentuk CSR tidak menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau dan rokok elektronik; tidak bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau dan rokok elektronik; tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, maupun hadiah produk tembakau dan rokok elektronik, atau produk terkait lainnya; dan tidak diliput dan dipublikasikan oleh media.
- Larangan untuk menampilkan gambar orang merokok, batang rokok, asap rokok, dan bungkus rokok dan rokok elektronik di media penyiaran.
- Keterlibatan berbagai Lembaga dan Instansi Pemerintah dalam pengawasan rokok dan rokok eletronik: Pemerintah Pusat dan Daerah, Kemenko PMK, Kementerian Keuangan, Menteri PAN, Kementerian Pendidikan, Kementerian Perindutrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
- Larangan untuk membuat, menjual, dan promosi di KTR.
- Pemerintah Daerah wajib menetapkan KTR yang terdiri: Fasilitas Pelayanan Kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
- Wajib menetapkan tempat untuk merokok di Kawasan KTR.
Peran Serta Masyarakat
- Masyarakat berperan: memberikan edukasi bahaya mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik bagi Kesehatan; melakukan ndus layanan konseling berhenti merokok; melakukan ndustr tidak merokok di dalam rumah; tidak menjual Produk Tembakau dalam bentuk satuan perbatang; tidak menjual pada anak usia 18 (delapan belas tahun) dan ibu hamil; melaporkan pelanggaran ndustr tanpa rokok; tidak menyediakan produk tembakau dan rokok elektronik pada kegiatan sosial, ndustryt, olahraga, ndus, kepemudaan, kebudayaan, yang melibatkan ndustryt umum; dan melakukan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Peran ndustryt sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, badan hukum/badan usaha, dan ndustr/organisasi.
Beberapa Kritisan:
- Ketentuan-ketentuan dalam RPP Kesehatan ini lebih dalam rangka mematikan IHT dan rokok elektronik dari pada pengendalian.
- Larangan-larangan yang ditetapkan seolah-olah IHT adalah industri ilegal atau bahkan disamakan dengan psikotropika dan ganja.
- Larangan promosi dan iklan akan semakin menyuburkan konsumsi rokok ilegal karena masyarakat kurang tahu mana yang legal dan mana yang ilegal.
- Kementerian Kesehatan cuci tangan dan tidak terlibat dalam pengawasan terhadap pengendalian produk rokok dan rokok elektronik.
- Tidak ada satupun argumen atau ketentuan yang menganggap penting mempertahankan IHT sebagai industri khas Indonesia dan yang tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi global.
- Lemahnya law enforcement terhadap ketentuan yang ada. Pemerintah cari gampangnya saja dengan mengeluarkan ketentuan baru yang lebih represif.
RPP Kesehatan dan Industri Makanan Minuman (MAMIN)
Sebagaimana disebutkan di atas, RENSTRA Kementerian Kesehatan dalam rangka GERMAS dalam Perpres No. 18, 2020 tentang RPJMN akan menerapkan pengendalian terhadap produk makanan yang memberikan dampak negatif bagi kesehatan terutama yang mengandung gula, garam, dan lemak (GGL). Tekanan WHO dan UNICEF juga turut memberi andil pada percepatan penerapan cukai ini. UNICEF Indonesia (April, 2023) merilis bahwa Indonesia tengah menghadapi tantangan yang semakin besar pada kelebihan berat badan, obesitas, dan penyakit tidak menular (PTM). Faktor pendorong utamanya adalah perubahan pola makan yang ditandai dengan konsumsi makanan dan minuman tinggi gula, garam, dan lemak secara berlebihan, termasuk minuman berpemanis, seperti minuman ringan, jus buah dan sayuran, teh dan kopi siap minum. Produk-produk ini seringkali mengandung gula dalam jumlah yang sangat tinggi, dan konsumsinya telah meningkat secara global, termasuk di Indonesia, karena ketersediaan yang meningkat, harga yang rendah, dan pemasaran yang agresif. Kecenderungan ini terutama berdampak pada kesehatan anak dan remaja yang seringkali menjadi sasaran utama iklan dan promosi minuman berpemanis.
Masukan dari WHO, UNICEF maupun para pakar Kesehatan, setelah memperhatikan penerapan cukai terhadap produk MBDK di berbagai negara, menyebutkan bahwa pengenaan cukai dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengurangi konsumsi produk-produk yang tidak sehat, termasuk minuman berpemanis. Ringkasan kebijakan ini menyoroti cukai untuk minuman berpemanis dapat menjadi strategi yang efektif untuk mencegah kelebihan berat badan, obesitas, PTM, dan implementasi cukai tersebut di Indonesia dapat membantu meningkatkan kesehatan masyarakat secara signifikan serta melindungi hak anak untuk masa depan yang lebih sehat. FSP RTMM-SPSI harus juga memberi perhatian serius pada hal ini karena sejumlah anggotanya bekerja di sektor ini. apalagi dalam beberapa media cetak maupun elektronik, Kementerian Keuangan sudah merencanakan akan menerapkan cukai pada produk MBDK ini dan disebut-sebut sudah masuk dalam proyeksi pendapatan negara dari cukai untuk Tahun 2024. Apakah ada ketentuannya dalam RPP Kesehatan?
Dalam Pasal 34 RPP Kesehatan disebutkan bahwa produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat program pemberian air susu ibu eksklusif berupa:
- pemberian contoh produk susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya secara cuma-cuma atau bentuk apapun kepada penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, ibu hamil, atau ibu yang baru melahirkan;
- penawaran atau penjualan langsung susu formula bayi ke rumah;
- pemberian potongan harga atau tambahan atau sesuatu dalam bentuk apapun atas pembelian susu formula bayi sebagai daya tarik dari penjual;
- penggunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk memberikan informasi tentang susu formula bayi kepada masyarakat; dan/atau
- pengiklanan susu formula bayi yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, media digital, dan media luar ruang. Penjelasan: yang dimaksud dengan media digital adalah media yang berbasis sistem informasi dan komunikasi.
Sedangkan dalam Pasal 203 disebutkan bahwa produk yang mengandung gula, garam, dan lemak termasuk sumber penyakit tidak menular yang risikonya perlu dikendalikan: Pasal 203, ayat 5 butir a: “ pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak, serta rokok”. Selanjutnya pada Pasal 203, ayat (11) butir a menyebutkan: Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan bertanggung jawab: “meningkatkan pengawasan terhadap peredaran dan penjualan produk tembakau, minuman beralkohol, pangan tinggi gula, garam dan lemak, dan bahan berbahaya yang sering disalahgunakan dalam pangan;” dan ayat (12), butir a menyebutkan: Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan bertanggung jawab: “melakukan kajian dan penetapan cukai dan pajak produk tembakau, minuman beralkohol, dan bahan/produk yang berisiko menimbulkan penyakit tidak menular”.
Kementerian Keuangan juga mengatakan sudah menyiapkan skema penerapan cukai pada MBDK dan plastik. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa, Nirwala Dwi Heryanto mengklaim saat ini aturan cukai sedang dibahas secara intensif bersama pihak terkait mulai dari akademisi, kementerian kesehatan, BPOM , serta WHO. Nirwala juga mengklaim pihaknya sedang merancang aspek legal dan formal untuk pemberlakukan cukai MBDK di Indonesia. Hal senada juga disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang kembali berencana menambah objek cukai baru dengan memungut cukai atas produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan pada 2024 (Bisnis.com, 9/4/2023).
Berbagai sumber menyampaikan bahwa terjadi peningkatan cukup tinggi terhadap konsumsi MBDK dalam tahun-tahun terakhir. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), merilis rata-rata Konsumsi Minuman Manis Kemasan di Rumah Tangga Indonesia tahun 2021 (Tirto.id, 29/7/2023) sebagai berikut:
No | Nama | Nilai / kemasan per bulan |
1 | Kopi instan | 29 |
2 | Susu cair pabrik | 19 |
3 | Sari buah/minuman energi | 13 |
4 | Teh/soda | 12 |
5 | Susu kental manis | 5 |
Sumber yang sama juga memberi gambaran tentang cukai MBDK di beberapa negara ASEAN:
No. | Nama negara (2022) | Rp/liter |
1 | Brunai Darusalam | 4,500,- |
2 | Filipina | 3.600,- |
3 | Thailand | 2.200,- |
4 | Malaysia | 1.500,- |
5 | Indonesia (wacana) | 1.500 – 2.500,- |
Beberapa kritisan:
- Memperhatikan uraian kebijakan tersebut di atas, mitra industri FSP RTMM-SPSI untuk Mamin sudah harus mulai menyiapkan diri menghadapi penerapan cukai terhadap produk makanan minuman, terutama minuman yang tergolong MBDK.
- Penerapan cukai tentu akan berimbas pada harga jual produk. FSP RTMM-SPSI berharap kenaikan harga produk tidak memberi dampak negatif bagi para pekerja.
- FSP RTMM-SPSI berharap pengaturan dan penerapan cukai pada produk MBDK tidak seperti yang berlaku pada IHT dan tetap memberi perhatian pada pertumbuhan industrinya.
Penutup
Program Advokasi Regulasi Industri merupakan keputusan MUNAS VI dan RAPIMNAS I dan RAKERNAS I dan RAPIMNAS II yang tepat bagi SP RTMM – FSP RTMM-SPSI dan harus dijalankan secara masif oleh semua elemen organisasi sebagai bentuk tanggung jawab organisasi menjaga kelangsungan pekerjaan dan penghasilan bagi para anggota. Walaupun perubahaan regulasi membuat tugas ini makin berat, mudah-mudahan seluruh elemen organisasi tetap semangat dan optimis serta terus mewujudkan organisasi SP RTMM – FSP RTMM-SPSI yang demokratis, profesional, dan berintegritas. Terus menjadi organisasi yang amanah bagi anggota, berkolaborasi baik dengan mitra industri dan terus berkontribusi bagi pembangunan bangsa Indonesia tercinta. Semoga Yang Maha Kuasa selalu menyertai dan menuntun setiap langkah dan perjuangan kita, Amin.