Siaran Pers INTEGRITY
JAKARTA, 7 Agustus 2023, Sidang Pengujian formil UU Ciptaker yang diajukan oleh 15 (lima belas) Serikat Pekerja dan Serikat Buruh masih terus bergulir. Para pemohon yang didampingi kuasa hukumnya dari Indrayana Centre for Goverment,Constitution,and Society (INTEGRITY) Law Firm menghadirkan Ledia Hanifa Amaliah yang merupakan anggota DPR dari Fraksi PKS sebagai saksi ahli dan Feri Amsari yang merupakan dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas sebagai Ahli Hukum.
Di dalam keterangannya, Ledia Hanifa mengemukakan bahwa DPR telah menerima surat dari Presiden mengenai Perppu Ciptaker sejak tanggal 9 Januari 2023. Namun, Badan Legislasi DPR baru memberikan persetujuan Perppu Ciptaker untuk dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II pada tanggal 15 Februari 2023. Adapun persetujuan DPR secara kelembagaan baru ditentukan pada tanggal 21 Maret 2023 melalui rapat paripurna.
Ledia Hanifa juga mengungkapkan bahwa saat pembahasan di rapat paripurna DPR, Fraksi PKS menolak pengesahan Perppu Ciptaker menjadi UU Ciptaker karena sudah melewati masa sidang yang ditentukan, yakni selambat-lambatnya tanggal 16 Februari 2023. Oleh karenanya, Perppu Ciptaker sudah seharusnya dicabut. “Di dalam rapat tanggal 21 Maret 2023, Fraksi PKS menyampaikan interupsi bahwa Perppu Ciptaker harus dicabut karena belum disahkan menjadi undang-undang dalam Masa Persidangan III Tahun sidang 2022-2023 di DPR yang dimulai pada 10 Januari 2023 dan berakhir pada 16 Februari 2023,” tegas Ledia Hanifa yang juga merupakan Sekretaris Fraksi PKS.
Sementara itu, Feri Amsari berpendapat bahwa Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) telah mengatur secara jelas bahwa Perppu harus ditindaklanjuti pada masa sidang berikutnya. Menurut Feri Amsari, yang dimaksud dengan sidang berikutnya adalah sidang paripurna. Perppu yang tidak mendapat persetujuan pada sidang paripurna berikutnya secara otomatis harus dibatalkan. Hal lain yang menjadi sorotan Feri Amsari dalam proses pengundangan UU Ciptaker adalah ketidakpatuhan pembentuk undang-undang terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam keterangannya, DPR dan Presiden dianggap sedang bermain-main mengenai apa yang harusnya dilakukan secara konstitusional. Mahkamah Konstitusi dituntut untuk menegakkan putusannya sendiri dalam memeriksa pengujian formil UU Ciptaker Feri Amsari juga berpendapat bahwa pembenahan Mahkamah Konstitusi terhadap praktik penyimpangan konstitusi itu diperlukan agar proses bernegara menjadi baik. Jika tidak, akan muncul langkah-langkah politik yang mengabaikan konstitusi seperti pernyataan DPR yang menyatakan memiliki saham dalam menentukan pemilihan hakim konstitusi hanya karena kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Jangan tanyakan kepada publik kenapa anda tidak patuh terhadap putusan MK, jika MK sendiri tidak menegakkan dan mematuhi putusannya sendiri. Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah putusan yang patut dihormati oleh seluruh pihak, termasuk Presiden dan DPR,” ungkap Feri Amsari.
Sehubungan dengan hal tersebut, M. Raziv Barokah, kuasa hukumPara Pemohon dari INTEGRITY Law Firm mengungkapkan optimismenya setelah menghadapi persidangan kali ini. Baginya, kesalahan penerbitan UU Ciptaker dan juga Perppu Ciptaker sudah jelas dan nyata. Sehingga, tidak ada alasan lagi untuk tidak membatalkan UU Perppu Ciptaker. “Persidangan kali ini menunjukkan kepada kita semua bahwa sudah tidak ada lagi alasan untuk tidak membatalkan UU Ciptaker. Pengabaian Putusan MK hingga keterlambatan pengesahan Perppu Ciptaker telah menunjukkan secara vulgar bahwa UU Ciptaker memang mengandung kecacatan formil. Menurut Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 52 UU PPP juncto Putusan MK Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Perppu Ciptaker harus dicabut dan bukan disahkan menjadi undang-undang. Sulit bagi para pembentuk undang-undang membantah ini semua,” ungkap Raziv.
www.serikatpekerjartmm.com