Rilis Media (Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm)
JAKARTA, 27 Juli 2023 – Setelah sebelumnya menghadiri sidang dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah DPR dan Presiden atas uji formil UU Ciptaker di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 17 Juli 2023, sebanyak 15 (lima belas) Serikat Pekerja dan Serikat Buruh/Pemohon yang didampingi oleh Kuasa Hukumnya, Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, kembali menghadiri persidangan di MK dengan agenda penyampaian keterangan ahli Pemohon.
Ahli yang dihadirkan oleh Para Pemohon adalah Ekonom senior, Dr. Rizal Ramli. Begawan Ekonomi ini mengharapkan agar MK dapat membatalkan UU Ciptaker, karena menurutnya merugikan kepentingan nasional, merugikan puluhan juta buruh/pekerja, dan hanya menguntungkan beberapa pihak. Sebagai informasi, persoalan ketenagakerjaan dalam UU Ciptaker terus menjadi masalah yang dipersoalkan oleh kalangan Pekerja dan Buruh. Salah satunya adalah soal tenaga kerja alih daya atau outsourcing. Dalam UU Ciptaker, memang tidak diatur soal ruang pembatasan pekerja alih daya di Industri. Selain itu, isu lainnya adalah soal tidak adanya batas waktu kerja sebagai outsourcing. Dengan kata lain, UU Ciptaker memperkenalkan adanya skema outsourcing seumur hidup. Hal demikian merupakan imbas dari perubahan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang direvisi oleh UU Ciptaker.
“Ini adalah contoh perburuhan yang sangat tidak manusiawi yang terdapat di UU Ciptaker. Sama artinya dengan perbudakan modern,”
Rizal Ramli
Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu lebih jauh mengungkapkan, sistem outsourcing untuk para buruh dan/atau pekerja semestinya hanya berlaku 3 bulan, setelah itu buruh dan/atau pekerja dapat diangkat menjadi pekerja tetap.
“Kita negara Pancasila dan berlandaskan UUD 1945, tapi kok mengizinkan perbudakan,” tegas Rizal Ramli.
Ia juga menjelaskan, ada beberapa alasan yang digunakan oleh pemerintah untuk menerbitkan UU Ciptaker, namun semua alasan yang dikemukakan pemerintah jelas mengada-ada. Misalnya, alasan karena adanya kegentingan perekonomian nasional, sehingga kebijakan Ciptaker ini harus diterbitkan. Padahal, lanjut Rizal Ramli, kesulitan ekonomi dapat diatasi dengan cara-cara inovatif, tidak perlu dengan menerbitkan UU Ciptaker yang menyusahkan Buruh dan/atau Pekerja. Apalagi dalam faktanya, pertumbuhan ekonomi nasional sejak sebelum dan sesudah munculnya UU Ciptaker hanya berkisar di antara 4,5% atau 5%. Jadi, tidak ada alasan kegentingan untuk menerbitkan kebijakan Ciptaker ini. Kegentingan itu benar-benar terjadi jika pertumbuhan ekonomi nasional negatif, seperti tahun 1997-1998 pertumbuhan ekonominya negatif 12,9%. Namun, jika pertumbuhan ekonominya masih positif di atas 4,5%, maka hal tersebut belum termasuk dalam keadaan genting.
BANDINGKAN ERA JOKOWI DAN GUS DUR
Selain menyoal alasan “kegentingan yang memaksa” dalam pengesahan Perppu Ciptaker menjadi UU, Rizal Ramli juga membandingkan capaian pemerintahan Gus Dur dibandingkan dengan era pemerintahan Jokowi. Disebutkan, era Jokowi menciptakan 1 juta lapangan kerja pertahun, hal ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan era Gus Dur yang mencapai 5 juta pertahun. Pada saat menjabat sebagai Menko Perekonomian di era Gus Dur, RR sapaan akrabnya, langsung memaparkan cara yang dilakukannya saat membenahi perekonomian Indonesia pada tahun 2000 melalui cara-cara inovatif, hingga ekonomi Indonesia yang tercatat minus 3% berhasil naik hingga 4,5%, lalu naik lagi ke 7% dalam waktu 21 Bulan.
Rizal Ramli juga mengungkapkan alasan pemerintah yang ingin menyederhanakan peraturan, perizinan, birokrasi yang ruwet dan tumpang tindih dengan mengesahkan Perppu Ciptaker menjadi UU. “Alasan ini memang memasuk akal. Karena birokrasi kita memang ruwet, mempersulit, terlalu banyak tumpang tindih aturan dan perizinan. Tapi, yang dihasilkan dari UU Ciptaker adalah masalah yang semakin ruwet,” demikian Rizal Ramli dalam tambahan keterangannya sebagai ahli di MK.
Ia juga menyayangkan, mengenai UU Ciptaker yang katanya menyederhanakan, justru membuat semakin ruwet, karena UU tersebut berisikan 1.000 halaman dengan tambahan penjelasan 500 halaman. “Masa bisa disederhanakan dengan Undang-Undang yang sebanyak itu. Antara pasal banyak yang konflik, banyak perbedaan, sehingga untuk memahaminya perusahaan besar saja harus menyewa lawyer yang mahal. Apalagi, usaha kecil dan menengah. Bagaimana mereka bisa memahami UU itu,” tegasnya. Rizal menyatakan jika memang pemerintah ingin membantu usaha kecil hingga menengah, harusnya hanya 50 halaman saja, sehingga tidak ada keraguan dan kepentingan abu-abu dari UU tersebut.