Yogyakarta, Menyusul keputusan Kementrian Keuangan yang menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 10 % menyebabkan berjamurnya usaha rokok ilegal yang sangat berdampak buruk terhadap iklim Industri Hasil tembakau resmi yang adadi Indonesia, bagaimana tidak banyak ditemukan rokok SKT berharga murah tanpa cukai (ilegal). Hal ini tidak luput dari perhatian Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI, dimana secara resmi PP FSP RTMM sudah berkoordinasi dengan Bea Cukai, namun tak kunjung di follow up. Sudarto, AS (Ketum PP FSP RTMM-SPSI) memberikan keterangan disela-sela acara pembukaan Rapat Kerja Daerah PD FSP RTMM-SPSI Provinsi DI Yogyakarta. Dalam keterangannya Sudarto, AS menilai bahwa kenaikan cukai membuat industri SKT (Singgaret Kretek Tangan) mengalami pertumbuhan. Pasalnya dibanding SKM (Singgaret Kretek Mesin) dan SPM (Singgaret Putih Mesin) harga SKT masih tergolong lebih murah. “SKT Jujur kita katakan mengalami pertumbuhan karena kita masih bisa melakukan adjustment terhadap cukai yang naik, namun pertumbuhan penjualan SKT hanya berdampak pada produsen baru. Harus dipahami bahwa tumbuhnya itu kebanyakan kepada industri-industri baru. jadi jangan kaget kalau di pasaran sekarang ada harga SKT dibawah 10 ribu perbungkus” Ujar Sudarto AS.
Tidak hanya itu, Sudarto,AS mengungkapkan bahwa kerap menemukan rokok SKT tanpa cukai atau menggunakan cukai palsu. Semua itu untuk menggaet masyarakat berpindah ke rokok SKT yang lebih murah. “Bahkan, ada indikasi kuat kami temukan di lapangan produk-produk rokok tanpa cukai dan atau cukai palsu. Karena harga yang golongan satu atau premium kan semakin tinggi,” katanya. Sudarto juga bercerita pernah melaporkan temuan itu ke bea cukai. Namun, hingga kini Sudarto,AS belum mengetahui tindak lanjutnya seperti apa. “Sementara ada tawaran rokok SKT baru dengan harga Rp 8 atau Rp 10 ribu. Bahkan saya pernah temukan Rp 5 ribu tanpa cukai dan itu mudah ditemukan dan saya pernah melaporkan itu ke bea cukai, tapi saya tidak tahu apakah itu di-follow up atau tidak,” ucapnya. Di sisi lain, Sudarto,AS juga mengalami dilema karena sebagian besar anggotanya adalah pekerja rokok SKT. Namun, jika terjadi pembiaran produsen rokok SKT golongan satu atau premium semakin kehilangan pembelinya karena beralih ke rokok dengan harga lebih terjangkau. “Padahal anggota kita itu sebenarnya pekerja di SKT yang industrinya sudah cukup lama, ini juga PR buat kita,” katanya. Perlu diketahui, pada awal tahun 2024, Kemenkeu resmi menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 10 persen. Kenaikan cukai rokok tentu saja membuat harga rokok semakin mahal.
RAKERDA PD FSP RTMM-SPSI Provinsi D.I Yogyakarta
Pimpinan Daerah PD FSP RTMM-SPSI DIY menggelar Rapat Kerja Daerah (Rakerda), Sabtu (20/1/2024). Beberapa materi yang dibahas dibahas termasuk harapan agar pemerintah menunda kenaikan cukai rokok ang akan terjadi lagi 2025 nanti. Waljid Budi Lestarianto, Ketua PD FSP RTMM-SPSI DIY, mengatakan bahwa 5.100 pekerja rokok di DIY berharap rencana kenaikan cukai ditunda tahun depan bisa ditunda terlebih dahulu. Kenaikan 10 persen tahun 2024 ini menurut dia telah membawa dampak meski industri Sigaret Kretek Tangan (SKT) mengalami pertumbuhan.
“Tahun ini SKT tumbuh, ya beri nafas dulu jangan kemudian langsung dinaikkan. Kami berharap pemerintah untuk tidak menaikkan cukai dulu tahun depan,” ungkapnya pada wartawan usai pembukaan Rakerda di Hotel Matahari. Waljid mengatakan para pekerja sepakat, Advokasi Industri Hasil Tembakau sangat urgen untuk menjadi agenda prioritas demi menjaga keberlangsungan mata pencaharian utama. Para buruh juga konsisten menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif pada tembakau. “Hal ini tidak mengakomodasi isu kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat yang bergantung pada industri tembakau. Tentunya para pekerja khususnya sektor SKT perlu memperjuangkan hak-haknya atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang selama ini terpenuhi dari bekerja di industri yang menyerap ribuan tenaga kerja di DIY,” tegasnya.
Secara nasional, tercatat 229.919 pekerja yang bergabung dalam organisasi FSP RTMM-SPSI dengan total 147 ribu lebih pekerja rokok dan 80-an ribu pekerja makanan minuman. Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI juga tegas menyerukan penundaan kenaikan cukai rokok yang membawa dampak nyata bagi pekerja. “Di Jogja misalnya, mayoritas anggota adalah pekerja rokok jadi sudah benar berfokus pada advokasi sektor tembakau karena bisa saja terjadi PHK massal ketika kita tak mengawal kebijakan. Kami mayoritas Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan sekarang kenaikan 2024 ini sudah berdampak besar pada Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan rokok putih,” lanjutnya. Sudarto berpesan pada pengurus RTMM DIY untuk terus mengawal kebijakan Pemda DIY terkait pekerja rokok. Hal ini sebagai upaya menjaga stabilitas pekerja yang mayoritas bekerja di sektor tembakau dan turunannya.