JAKARTA, 14 Maret 2023. Tepatnya pada 30 Desember 2022 lalu Presiden RI memberikan kado akhir tahun yang teramat pahit bagi Pekerja Indonesia, yaitu keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Perppu yang tebalnya 1117 halaman menjadi kontroversi karena mencabut UU.Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sehingga tidak berlaku lagi.
Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 di akhir tahun yang dikeluarkan oleh Presiden menjadi kontroversi mengingat sebelumnya sudah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah melakukan pengujian Formil terhadap UU.Cipta Kerja dan diputuskan bahwa UU.Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK-91) dan Putusan MK tersebut memberi waktu UU.Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja untuk diperbaiki selama dua tahun,dan jika Pemerintah-DPR tidak memperbaiki maka UU Cipta Kerja dibatalkan karena tidak sesuai dengan Sistem Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dipahami bahwa Isi Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian UU Cipta Kerja adalah dalam pengujian Formil UU.Cipta Kerja tidak sejalan dengan konstitusi dan tidak sesuai prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan dalam pembentukan uu cipta kerja.
Terlebih secara konten, Undang-undang ini teramat banyak mereduksi hak-hak buruh yang sebelumnya diatur lebih baik dalam undang-undang nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan.
Pertimbangan Presiden
Sedangkan Pertimbangan Presiden mengeluarkan Perppu dasar hukumnya adalah Pasal 22 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa:
(1). Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
(2). Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut:
(3). Jika tidak mendapat persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Menjadi pertanyaan apa makna yang tertuang dalam Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 dengan terbitnya Perppu Cipta Kerja sudah sesuai ketentuan yang berlaku? dan kenyataan perdebatan panjang para ahli hukum masih terus berlangsung karena terbitnya Perppu Cipta Kerja tidak mengidahkan Keputusan MK Nomor 91 yang memberikan waktu dua tahun untuk diperbaiki UU.Cipta Kerja.Perppu yang diterbitkan oleh Presiden Nomor 2 Tahun 2022 berkaitan dengan Pasal 22 UUD Tahun 1945 terkait kegentingan yang memaksa ada tolak ukurnya sesuai keadaan dan kebutuhan untuk mencegah kekosongan hukum (recht Vaccum), adanya unsur ancaman yang membahayakan, terkait kebijakan serta hukum yang harus diperhatikan dan harus dikaji lebih mendalam sebelum peraturan diberlakukan.
Isi Perppu sama buruknya bagi nasib buruh
Kenyataaan yang harus diperhatikan lainnya, berlakunya Perppu Nomor 2 tahun 2022 yang tebalnya 1117 isinya beberapa Pasal masih belum sesuai dan terdapat perbedaan dengan ketentuan hukum yang sebelumnya. Permasalahan akan muncul kembali terutama bagi perusahaan perusahaan yang memilki dan akan menerapkan sistem hubungan kerja outsourching atau alih daya, cuti kerja , waktu istirahat dan libur pekerja
Kritikal poin FSP RTMM-SPSI terhadap PERPPU 02/2022
Bertepatan dengan jadwal sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 Maret 2023 , Federasi Serikat Pekerja RTMM-SPSI yang diwakilkan oleh Pimpinan Pusat, Pimpinan Daerah Provinsi DKI Jakarta beserta beberapa PUK, Pimpinan Daerah Provinsi Banten, Pimpinan Cabang daerah Banten beserta beberapa PUK. Dan Pimpinan Daerah Provinsi Jawa Barat, Pimpinan Cabang daerah Jawa Barat beserta beberapa PUK menggelar aksi unjuk rasa Nasional MENOLAK PENGESAHAN PERPPU 02/2022 Tentang Cipta Kerja.
Adapun kegiatan yang dilaksanakan didepan gedung DPR RI ini merupakan wujud konsistensi FSP RTMM-SPSI dalam menolak berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja yang lebih dulu dikenal dengan istilah UU Omnibus Law. Dalam kesempatan ini FSP RTMM-SPSI secara tegas menyampaikan 2 tuntutan kepada pemerintah yaitu ;
1. Tolak Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Oleh DPR RI .
2. Bubarkan DPR RI Jika Tetap Mengesahkan PERPPU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja.
Maklumat Lengkap FSP RTMM-SPSI
FEDERASI SERIKAT PEKERJA ROKOK TEMBAKAU MAKANAN MINUMAN
SERIKAT PEKERJA SELURUH INDONESIA
“MENUNTUT KONSTITUSI KEADILAN SOSIAL”
DALAM AKSI UNJUK RASA NASIONAL – TANGGAL 14 MARET 2023
Tuntutan Aksi:
1. Tolak Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU)
Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Oleh DPR RI .
2. Bubarkan DPR RI Jika Tetap Mengesahkan PERPPU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang
Cipta Kerja.
Dalam ideologi sebagai negara yang berdasarkan hukum, hukum harus mengakui dan
melindungi hak-hak dasar warga negara sebagaimana dituangkan menurut Undang-
undang Dasar 1945 (konstitusi). Dari landasan dan pedoman negara yang menyatakan
dirinya sebagai negara hukum memberikan pengakuan dan jaminan keberadaan hak-hak
dasar warga negara, seperti hak atas pekerjaan dan hak mendapatkan penghidupan yang
layak sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.
Landasan normatif sebagai wujud tanggungjawab Pemerintah dalam Bidang
Ketenagakerjaan dipertegas kembali dalam Undang-undang Dasar 1945 (hasil
amandemen kedua), Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28D, terutama:
✓ Pasal (1) : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
✓ Pasal (2) : Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; dan
✓ Pasal (3) : Setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam
pemerintahan.
Kehadiran negara diharapkan dapat menjadi perlindungan bagi pekerja/buruh. Negara melalui Pemerintah bukan hanya mementingkan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat pekerja/buruh. Bekerja merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan penghasilan agar dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Adanya regulasi ketenagakerjaan seharusnya bisa mengakomodir kebutuhan hak warga pekerja/buruh, tidak hanya memperhatikan kelompok investor semata. Masih menempatkannya Klaster Ketenagakerjaan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, dalam rangka kemudahan berinvestasi merupakan paham kapitalisme yang mengganggap tenaga kerja hanya sebagai salah satu komponen produksi (industri) karena muatannya lebih mendegradasi nilai-nilai normatif sebelumnya. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan asas dan dasar Negara Pancasila.
Lebih dalam lagi jika kita analisa, PERPPU Cipker tersebut tertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 22A UUD 1945 serta Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 dan Nomor 91/PUU-XVII/2020. subjektivitas Presiden untuk menerbitkan Perpu harus didasarkan pada keadaan yang objektif. Apabila diukur dari tiga tolok ukur, keberadaan PERPPU ini tidak memenuhi syarat karena selama ini Pemerintah menggunakan UU 11/2020 (UU Cipta Kerja) untuk melaksanakan kebutuhan mendesak dalam penyelesaian masalah hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya, dan selama ini tidak terjadi kekosongan hukum.
Berpedoman pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa Undang-undang Nomor
11/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat karena naskah akademik dan
rancangannya tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, tata cara
pembentukan UU tersebut tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, dan terjadi
pula perubahan penulisan beberapa substansi pasca-persetujuan bersama DPR dan
Presiden serta bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan,
sehingga Undang-undang tersebut dinilai cacat formil.
Namun bukannya memenuhi amanat putusan MK tersebut, Pemerintah justru menerbitkan
PERPPU 2/2022 Tentang Cipta Kerja dengan tidak memenuhi amanat serta amar Putusan
Nomor : 91/PUU-XVIII/2020 dan tidak memenuhi Putusan Nomor : 139/PUU-VII/2009.
Bahwa tindakan ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan proses
pembentukannya bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 karena tidak pula
memenuhi syarat kegentingan memaksa yang seharusnya didasarkan pada keadaan yang
objektif.
Atas dasar tersebut seharusnya DPR dan Pemerintah RI harus memulai kembali ke
pembahasan subtansi Undang-undang Cipta Kerja dari mulai awal lagi sesuai dengan
mekanisme Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sesuai amanat putusan MK
Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bukan menerbitkan PERPPU yang ternyata jika dipelajari
dengan seksama secara umum wataknya masih sama, hampir tidak ada bedanya dengan
UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020, seolah-olah Pemerintah telah melakukan perbaikan
terhadap UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 tersebut padahal hanya cover judulnya yang
berbeda isinya sama dengan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020. Oleh karena itu,
pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memenuhi ketentuan
Undang-Undang berdasarkan UUD 1945.
Alasan FSP RTMM-SPSI menolak pengesahan PERPPU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang
Cipta Kerja oleh DPR RI adalah:
a. PERPPU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja secara isi tak ubahnya dengan
Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dimana menurut Keputusan
MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat, dimana Bab
Ketenagakerjaan secara umum isi normanya masih lebih buruk dari Undang-undang
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan lebih mendegradasi kesejahteraan
pekerja;
b. Masih adanya pembatasan pengaturan upah minimum yang hanya berdasarkan
rumus, bukan berdasarkan hasil kondisi survei pasar sebenarnya dan kebutuhan hidup
layak pekerja/buruh;
c. Dalam PERPPU tersebut semua jenis pekerjaan dinilai bisa menerapkan sistem
outsourching, yang aturan sebelumnya (UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan)
mengatur hanya ada 5 (lima) jenis pekerjaa yang boleh outshourching;
d. Masih adanya penurunan nilai norma pemberian hak pesangon bagi yang terkena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bila dibandingkan dengan Undang-undang No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
e. Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih bisa dipermudah tanpa
melalui ijin atau pemberitahuan dahulu;
f. tidak adanya kepastian kerja menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT/Permanen) akibat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) yang
dilegalkan dengan batas waktu yang lebih lama; dan
g. Adanya penghilangan aturan cuti panjang, yang sebelumnya dijamin dalam UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan.
Demikianlah maklumat yang kami sampaikan, semoga DPR RI masih membuka hati dan
menerima aspirasi kami untuk tidak mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang jelas-jelas
secara data dan fakta telah mendegradasi nilai-nilai normatif dan kesejahteraan kaum
pekerja/buruh, khususnya yang menyangkut ketenagakerjaan, serta nyata-nyata
mengabaikan amanat Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 agar diperbaiki
karena dinyatakan konstitusional bersyarat, diakali dengan menerbitkan PERPPU yang
muatannya ternyata masih sama dengan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020.