LPW PP FSP RTMM-SPSI; Menolak Lupa 31 Tahun Kasus Marsinah
Tak terasa sudah 31 tahun berlalu sejak peristiwa memilukan yang menimpa pejuang buruh dan pejuan kemanusiaan “Marsinah”. Apa yang terjadi pada Marsinah 31 tahun lalu, dirasamasih tetap bermakna dalam konteks saat ini. Barangkali, aktivis perempuan muda RTMM atau aktivis Serikat Pekerja Wanita saat ini menghadapi tantangan yang berbeda dengan buruh seperti Marsinah. Namun, semangat perlawanannya sebagai perempuan akan terus menjadi inspirasi. “Perlawanan dan keberanian beliau patut diingat dan terus diperjuangkan. Kami bilang, Marsinah akan terus ada yang berlipat ganda. Itu adalah harapan kita semua untuk meneruskan semangat Marsinah. Untuk terus melawan ketidakadilan, terutama bagi orang-orang yang termarginalkan,”
Siapa Marsinah?
Sobat RTMM, Siapa itu Marsinah? Marsinah (10 April 1969 – 8 Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik pada masa Orde Baru, bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993, setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan yang berada di Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD dr. Soetomo), menyimpulkan Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Sang Simbol Perjuangan
Inilah Marsinah, Sang Simbol Pergerakan Penuntut Keadilan bagi Buruh. Pemerintahan Orde Baru nyatanya adalah sebuah pisau bermata dua bagi rakyat, disatu sisi menganggap era Orde Baru adalah masa keemasan bagi bangsa, namun disisi lain ada yg beranggapan bahwa tak ubahnya Indonesia berada dibawah tirani anti kritik dan pengekangan pendapat. Hal ini dibuktikan dengan aturan dari Menteri Tenaga Kerja saat itu yang isinya adalah penempatan militer pada tiap tiap pabrik guna sebagai penengah jika ada konflik antara jajaran pimpinan dengan serikat buruh. Selain itu, tentunya para militer ini ditugaskan sebagai pengawas. Mulut mulut yang mencoba berteriak dan mengemukakan pendapat itu akhirnya tertahan. Ancaman peneguran, penangkapan atau pemecatan membayang2i mereka. Militer senantiasa siap sedia mengintervensi pabrik luar maupun dalam,
Begitulah yang terjadi pada salah satu pabrik tempat Marsinah bekerja, PT Catur Putera Surya (CPS), sebuah pabrik arloji(jam tangan) di Siring, Porong, Jawa Timur. Saat itu, buruh PT CPS digaji sebanyak Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, Yang isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh sebesar 20 persen agar mendekati standar UMR tadi.
Keberatan Pengusaha
Para pengusaha dan petinggi pabrik keberatan dengan kenaikan upah tersebut. Memang, ada sedikit penyesuaian yakni kenaikan tunjangan, tapi tidak pada gaji pokok. Tunjangan ini sifatnya harian, dimana jika buruh sakit atau melahirkan, maka tunjangannya akan terpotong. Buruh PT CPS tentunya bertindak dan melakukan negosiasi dengan para pimpinan pabrik. Namun hasilnya hanya menemui titik buntu. Akhirnya, merasa hak hak mereka tidak dihargai oleh pabrik, para buruh PT CPS menyuarakan mogok kerja pada tanggal 3 Mei 1993.
Dari total 200 buruh yg bekerja disana 150 nya memilih mogok, 1 diantara mereka yg mogok ini adalah Marsinah, yang saat itu masih berusia 24 tahun. Marsinah merupakan salah satu buruh yang paling vokal disana. Ia berkata kepada forum saat itu “Tidak usah kerja. Teman-teman tidak usah masuk. Biar Pak Yudi sendiri yang bekerja,” kata Marsinah. Pak Yudi yang Marsinah maksud adalah direksi PT CPS dgn nama lengkap Yudi Susanto
Para buruh yang mogok kerja kemudian menuntut 12 hal kepada perusahaan, yg disimpulkan maka tuntutan buruh tersebut sebagai berikut bisa dibagi 10 poin berikut :
Tuntutan Saat Itu Masih Relevan Hingga Saat Ini
1. Kenaikan upah sesuai kebutuhan buruh
2.Tunjangan Cuti Haid
3.Asuransi kesehatan bagi buruh ditanggung perusahaan
4.Pemberian THR sebesar 1bulan gaji sebagaimana peraturan pemerintah
5.Penambahan uang makan
6.Kenaikan uang transport
7.Bubarkan SPSI
8.Tunjangan cuti hamil diberikan tepat waktu
9.Upah karyawan baru disamakan dengan karyawan yang telah 3tahun bekerja
10. Perusahaan dilarang melakukan PHK, ataupun mutasi bagi para buruh yg menuntut haknya.
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) disebut dalam tuntutan itu. SPSI adalah satu-satunya organisasi buruh yang dinyatakan legal oleh otoritas Soeharto. kala itu reputasi SPSI buruk dan nyaris selalu berseberangan dengan kebutuhan kolektif buruh. Sementara bagi SPSI, serikat buruh adalah mitra bagi perusahaan. Ungkapan ini diduga demi mencari aman krn SPSI disetir oleh kekuasaan Orde Baru, Saat aksi mogok hari pertama, Yudo Prakoso salah satu pekerja yang bertindak sebagai koordinator aksi ditangkap dan dibawa ke Kantor Koramil 0816/04 Porong.
Kekejian Yang Dialaminya
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer 0816/Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6 hingga 8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993
Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter. Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali. Visum kedua dilakukan tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping. Tulang kemaluan kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada serpihan tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter. Juga pendarahan di dalam rongga perut.
Di dalam kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat karena terdapat unsur yang memunculkan pelanggaran HAM berat yakni pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 unsur kejahatan manusia dan juga mengandung unsur pelanggaran hak asasi manusia. Dasar hukum yang dilanggar pada sila ke-2 yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Didalamnya terdapat tindak kejahatan seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan. Dan penganiayaan terhadap seseorang atau kelompok yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin yang telah diakui universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
Marsinah, Antara Kenangan dan Simbol Perlawanan
Marsinah, adalah potret pejuang bagi kaum buruh saat ini. Perjuangan Marsinah, adalah juga apa yang kaum buruh perjuangkan hingga hari ini. Ingatan rakyat Indonesia terhadap tak akan pernah hilang. Marsinah, ia yang berani menentang antek-antek penguasa Orde Baru saat itu dalam menuntut kenaikan upah hingga berujung pada kematiannya, hendaknya menjadi semangat bagi kaum buruh di Indonesia untuk tidak lelah berjuang menuntut apa yang telah menjadi hak.
Gugurnya Marsinah jangan sampai sia-sia, jangan sampai perjuangannya terlupakan begitu saja. Perlawanannya tetap akan hidup dalam setiap teriakan “hidup buruh yang melawan” dan dalam setiap langkah kaum buruh yang masih berjuang sampai hari ini. . Sudah saatnya buruh mendesak kepada pemerintah mengambil sikap tegas kepada para pengusaha nakal yang melakukan penangguhan upah terselubung, yang membiarkan pelecehan seksual terjadi di lingkungan pabrik dan PHK sepihak. Pemerintah pun harus segera menerapkan aturan perundang-undangan secara menyeluruh tanpa adanya kepentingan sehingga dapat dijadikan payung hukum bagi tegaknya HAM dan demokrasi bagi kaum buruh di Indonesia.
Dan sudah saatnya pemerintah membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh buruh saat ini. Pemerintah harus berani membuka ulang kasus Marsinah atas nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah menemui titik terang.
KEPUTUSAN 04 RAPIMNAS III FSP RTMM-SPSI TAHUN 2024
https://www.youtube.com/live/-zkga26nOWs?si=OHNl0LtpvYcFK82l