www.serikatpekerjartmm.com
Jakarta,14 Januari 2024. Dalam tahun politik 2024 ini seluruh perhatian masyarakat Indonesia teralihkan oleh persiapan pesta demokrasi yang dihelat 5 tahun sekali. Bagaimana seluruh pemberitaan di media massa di dominasi oleh berita pemilu presiden 2024. Namun demikian ada beberapa agenda penting pemerintah yang sangat berdampak langsung bagi pekerja sektor IHT. Salah satunya adalah RPP Kesehatan , dimana sejumlah pasal yang diatur dalam RPP Kesehatan tersebut dinilai merugikan sektor Industri Hasil Tembakau sampai dengan level pekerja. Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian bersama. Oleh sebab itu Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI kembali menyurati Presiden Jokowi untuk menyampaikan 3 hal mendasar yang perlu diperhatikan oleh pemerintah!

- Meminta Pemerintah Menghentikan Pembahasan dan Mengeluarkan Pasal Pengamanan Zat Adiktif dari RPP KESEHATAN.
Industri Rokok atau Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri padat karya, khasIndonesia, yang mayoritas pekerjanya adalah pekerja wanita dengan tingkat pendidikan terbatas dan menjadi tulang punggung keluarga. Fakta telah menunjukan bahwa dampak negartif dari kebijakan/regulasi IHT selalu menjadi ancaman terhadap turunnya pendapatan sampai kepada hilangnya pekerjaan, dan tidak ada lapangan kerja pengganti. - Menyayangkan Perlakukan Diskriminatif Kementerian Kesehatan Yang Tidak Melibatkan Tenaga Kerja Sebagai Pemangku Kepentingan Yang Terdampak, Dalam
Proses Penyusunan RPP KESEHATAN.
Berulang kali kami diperlakukan diskriminatif atas upaya-upaya yang cenderungmenyudutkan keberadaan dan keberlangsungan sawah ladang tempat mencari nafkah para anggota kami. Terlebih dalam RPP Kesehatan saat ini, diselipkannya pasal yang mengancam keberlangsungan IHT di antara ribuan pasal tentang fasilitas kesehatan, pendidikan dokter, organisasi kesehatan dan banyak pasal lainnya yang kami tidak fahami. Bahwa upaya-upaya pembuatan kebijakan yang diskriminatif seperti ini harus dihentikan, karena bertentangan dengan amanah UUD yang menjamin hak serta kedudukan yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia. - Meminta Pemerintah dan DPR RI Melindungi Hak Atas Pekerjaan dan Penghasilan Pekerja, dari Kebijakan Yang Mengancam Keberlangsungan Mata Pencaharian Tenaga Kerja.
Kami meminta seluruh kebijakan dan/atau Regulasi terkait IHT, harus memperhatikan potensi dampak yang akan terjadi kepada industri maupun tenaga kerjanya. Kebijakan yang tidak disertai pertimbangan yang matang dan tanpa solusi, dapat dipastikan berujung pada penurunan kesejahteraan pekerja, bahkan dapat sampai kepada hilangnya pekerjaan pekerja. data BPS per Februari 2023 jumlah pengangguran sebanyak 7,99 juta orang. Regulasi pengendalian tembakau yang berlaku saat ini yaitu PP Nomor 109 Tahun 2012 sudah mengatur IHT secara komprehensif, untuk itu dapat dipertimbangkan untuk tetap menjadi payung hukum yang berlaku
Kajian terkini dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)



Kajian terkini dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyimpulkan negara akan menanggung kerugian puluhan triliun rupiah jika pasal-pasal tembakau tersebut disahkan. Sementara itu, manfaat yang hendak didapat dari aturan tersebut belum tentu dapat dicapai. Lebih jauh, pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan juga berdampak pada sektor lain yang selama ini banyak bergantung pada industri tembakau nasional. Hasil perhitungan dan analisa INDEF menunjukkan bahwa penerapan pasal-pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menggerus penerimaan negara. Perlu diketahui, pemerintah sangat membutuhkan penerimaan negara, termasuk untuk membiayai program-program kesehatan yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara. Dalam paparan INDEF, hasil dampak ekonomi yang ditimbulkan dari pasal-pasal tembakau yang terdapat di RPP Kesehatan dihitung dengan metode pemodelan keseimbangan umum (Computable General Equilibrium) yang dilengkapi dengan data primer dan sekunder.
Pasal-pasal tersebut dihitung dampaknya terhadap ekonomi, antara lain berkaitan dengan jumlah kemasan, pemajangan produk dan pembatasan iklan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 0,53 persen jika pasal-pasal tembakau tersebut diberlakukan. Dari sisi penerimaan negara, INDEF juga berkesimpulan bahwa penerapan pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menyebabkan penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp 52,08 triliun. INDEF melakukan perbandingan antara biaya kesehatan yang ditimbulkan dari industri tembakau dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh pasal-pasal tersebut. Hasil perhitungan INDEF menunjukkan bahwa kerugian ekonomi secara agregat yang akan ditanggung oleh negara akibat pasal tembakau di RPP Kesehatan ini sebesar Rp 103,08 triliun. Sementara, pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan akibat konsumsi rokok secara langsung dan tidak langsung sebesar Rp 34,1 triliun. Baca juga: Pengusaha dan Konsumen Minta Kemenkeu Tunda Implementasi Pajak Rokok Tahun Depan Peneliti dari Center of Industry, Trade and Investment INDEF, Ahmad Heri Firdaus, menjelaskan bahwa biaya kesehatan yang ditanggung tidak lebih besar jika dibandingkan dengan biaya ekonomi yang ditanggung negara.
Selain dampak ekonomi, INDEF juga mengukur seberapa besar tenaga kerja yang terdampak akibat pasal-pasal tembakau tersebut. Setidaknya akan ada penurunan tenaga kerja hingga 10,08 persen di sektor industri tembakau dan menurunnya serapan tenaga kerja di perkebunan tembakau hingga 17,16 persen. Untuk itu, jika pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan ini diterapkan, Pemerintah perlu bersiap untuk menghadapi gelombang pengangguran besar, yang tentunya akan akan memicu konsekuensi ekonomi maupun sosial.
Eksistensi Serikat Pekerja sebagai organisasi

Merujuk ketentuan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, bahwa Serikat Pekerja/Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk Pekerja/Buruh baik di Perusahaan maupun di luar Perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hakdan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Bahwa FSP RTMM-SPSI telah pula menetapkan system kerja advokasi terintegrasi yang bertujuan membela, melindungi hal dan kepentingan pekerja anggotanya, harus pula memperjuangkan kelangsungan dan pertumbuhan industrinya yang merupakan sawah ladang sumber mata pencaharian yang harus dijaga bersama kelangsungan dan pertumbuhannya. Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI mewakili Pimpinan Daerah FSP RTMM-SPSI di 15 provinsi, Pimpinan Cabang di 56 kabupaten/kota, dan Pimpinan Unit Kerja di 454 perusahaan di seluruh Indonesia serta 229.909 orang pekerja yang terdiri dari 148.901 orang Pekerja di Industri Rokok, 79.504 orang bekerja di industri makanan dan minuman, dan 1.504 orang bekerja di sektor pendukung industri rokok dan makanan serta minuman izin menyampaikan pernyataan terbuka dibawah ini sebagai sikap tegas dalam merespon perubahan kebijakan atau regulasi khususnya yang berkaitan dengan Industri Hasil Tembakau.
www.serikatpekerjartmm.com