Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI
Aksi Unjuk Rasa yang dilakukan oleh PUK SP RTMM PT Tirta Sukses Perkasa pada tanggal 27 Mei 2021 kemarin merupakan salah satu bentuk “ekspresi demokrasi atau kebebasan berserikat” yang dijamin secara konstitusional. Tentang apa permasalahan yang menjadi latarbelakang aksi tersebut akan kita bahas dalam kesepatan lain; terpisah. Tulisan ini fokus pada pertanyaan yang seringkali dibahas oleh publik: “Mengapa kaum buruh/pekerja hobi Unjuk Rasa?” Bahkan di beberapa kasus unjuk rasa dilanjutkan dengan mogok kerja. Bukankah kegiatan tersebut adalah kegiatan yang tidak produktif? Tulisan ini mudah-mudahan dapat menjadi referensi bagi para aktivis Serikat Pekerja tentang Unjuk Rasa atau bahkan Mogok Kerja yang konstitusional.
Unjuk Rasa Adalah Hak Asasi Manusia
Pada saat ini, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh “Pasal 28 UUD 1945” karena kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lebih lanjut tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998. Menurut undang-undang tersebut, penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan: unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Mogok kerja tidak diatur dalam undang-undang tersebut, tetapi diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Mogok Kerja Sebagai Salah Satu Upaya Pemenuhan Hak-hak Pekerja
Mogok kerja diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hak mogok merupakan hak dasar berorganisasi yang dilindungi Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi. Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja yang diakui hampir di seluruh dunia sebagai salah satu cara utama bagi para pekerja atau Serikat Pekerja untuk memperjuangkan dan membela kepentingan ekonomi dan sosial mereka. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pekerja atau serikat pekerja jika hendak melakukan mogok kerja supaya dapat dikatakan sah menurut hukum. Jika mogok kerja tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan maka dianggap tidak sah atau ilegal dan akan dikenakan sanksi hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku. Berikut uraian tentang mogok kerja yang sah dan tidak sah:
1.Mogok Kerja Yang Sah
Mogok kerja diatur dalam Pasal 137 s.d. Pasal 145 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan apabila pekerja akan melakukan mogok kerja. Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan/atau serikat pekerja harus dilaksanakan secara tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Gagalnya perundingan yang dimaksud adalah tidak tercapainya kesepakatan dalam perundingan antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja terkait syarat-syarat dan kondisi kerja atau hal-hal terkait hubungan kerja dan hubungan industrial lainnya di perusahaan. Masing-masing pihak kukuh mempertahankan argumennya dan tidak tercapai “win-win solutions”. Mogok kerja merupakan salah satu alternatif yang tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, selain beberapa cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial ditetapkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2004, penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan di luar pengadilan melalui Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, atau Arbitrase.
Mogok kerja dinyatakan sah apabila:
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain (Pasal 139 UU No. 13/2003). Pengertian perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia dijelaskan dalam Penjelasan undangundang tersebut secara limitatif yaitu rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol lalu lintas laut. Sedangkan pengertian pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja yang tidak sedang menjalankan tugas. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka Pasal 139 UU No. 13 Tahun 2003 tidak berlaku terhadap pekerja/buruh di stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek obyek vital nasional, karena penyebutan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur secara limitatif. Masalah kapan mogok kerja tidak boleh dilakukan, juga tidak diatur. Jika dibandingkan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 139 UU nomor 13 Tahun 2003 masih banyak lubang-lubang yang harus ditutup. Dalam Pasal 9 ayat (2a) UU Nomor 9 Tahun 1998 dinyatakan bahwa penyampaian pendapat di muka umum tidak boleh dilakukan pada hari besar nasional. Ketentuan Pasal 139 ini juga hanya menentukan agar mogok kerja menjadi sah harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu ketertiban umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Seandainya telah diatur sedemikian rupa tetapi masih juga terjadi gangguan terhadap ketertiban umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain maka hal demikian tidak menjadikan mogok kerja menjadi tidak sah.
Oleh karena itu, agar pelaksanaan mogok kerja dapat berjalan dengan lancar perlu pemberitahuan dan koordinasi dengan kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 9 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa setelah menerima surat pemberitahuan Polisi wajib:
- berkordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum;
- berkordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat; dan
- mempersiapkan pengamanan tempat.
Jika mogok kerja dilakukan setelah berkoordinasi dengan pihak kepolisian maka diharapkan mogok kerja akan berjalan tertib dan damai serta tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat.
- Sekurang-kurangnya dalam waktu tujuh hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja atau serikat pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada pegusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Pemberitahuan sekurang-kurangnya memuat: (1) waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja, (2) tempat mogok kerja, (3) alasan dan sebab-sebab mengapa melakukan mogok kerja, dan (4) tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja (Pasal 140 ayat 2 UU Nomor 13/2003). Instansi ketenagakerjaan dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja, memberikan tanda terima. Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkan dengan para pihak yang berselisih. Perundingan yang menghasilkan kesepakatan, dibuatkan Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi ketenagakerjaan sebagai saksi.
Ketentuan ini dapat diartikan bahwa terhadap mogok kerja yang tidak diberitahukan sebelumnya kepada instansi Depnaker dan kepada pengusaha, dapat memberi peluang kepada siapa pun untuk menghalang-halangi pekerja dan serikat pekerja untuk menggunakan hak mogok kerja. Terhadap pekerja yang mogok kerja dengan pemberitahuan terlebih dahulu, Pengusaha dilarang untuk: mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja lain dari luar perusahaan; memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apa pun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. Dalam ketentuan ini tidak ada syarat yang menentukan jumlah penanggung jawab pada setiap jumlah tertentu; misalnya setiap seratus orang pelaku mogok kerja ada seorang sampai lima orang penanggung jawab. Beberapa ketentuan yang ada menyebutkan bahwa berapa pun jumlah pemogok kerja, yang bertanggung jawab adalah ketua dan sekretaris serikat pekerjanya. Hal ini yang terjadi waktu Unjuk Rasa dan Mogok Kerja bulan lalu di PT Tirta Sukses Perkasa, yang dipimpin langsung oleh Saudara Suherman, Ketua PUK SP RTMM PT Tirta Sukses Perkasa dan didukung penuh oleh struktur PC FSP RTMM-SPSI Kab. Pasuruan maupun PD FSP RTMM-SPSI Provinsi Jawa Timur.
Untuk menyelamatkan alat produksi dan asset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara melarang para pekerja yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi, atau bila dianggap perlu melarang pekerja yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan. Perundingan yang menghasilkan kesepakatan, dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi ketenagakerjaan sebagai saksi. Akan tetapi, jika perundingan tidak mengahasilkan kesepakatan, pegawai dari instansi ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang. Jika di tempat ini pengusaha dan pekerja tidak menghasilkan kesepakatan, maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja atau penanggungjawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau diberhentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Siapa pun tidak dapat menghalang-halangi pekerja dan serikat pekerja untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai. Siapa pun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja dan pengurus serikat pekerja yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai. Bentuk menghalang-halangi antara lain, dengan cara: (1) menjatuhkan hukuman, (2) mengintimidasi dalam bentuk apa pun, atau (3) melakukan mutasi yang merugikan. Jika ketentuan ini dilanggar, menurut Pasal 185 UU Nomor 13 Tahun 2003, pihak yang melanggar dikenai sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikt Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Sebaliknya, pekerja berhak mendapatkan upah dalam hal pekerja yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normativf yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha. Pengertian sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah pengusaha secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya yang telah disepakati dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh pejabat di bidang ketenagakerjaan. Bahkan, pembayaran upah pekerja yang mogok tidak menghilangkan ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran ketentuan normatif.
- Mogok Kerja Yang Tidak Sah
Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah diatur dalam Keputusan Menteri.Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Kep-232/Men/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak sah. Menurut Keputusan Menteri tersebut mogok kerja dianggap tidak sah apabila dilakukan bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan; dan/atau dengan pemberitahuan kurang dari tujuh hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d UU Nomor 13 tahun 2003.
Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir. Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok kerja yang tidak sah dilakukan oleh pengusaha dua kali berturut-turut dalam tenggang waktu tujuh hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Pengertian pemanggilan secara patut tidak dijelaskan dalam Keputusan Menteri, sebagai rujukan kita dapat membaca dalam Pasal 145 dan Pasal 146 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan bahwa penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri atau pun orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai yang memuat tanggal, hari, jam, dan untuk perkara apa ia dipanggil. Pekerja yang tidak memenuhi panggilan dimaksud dianggap mengundurkan diri. Apabila dalam hal mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.
Kesimpulan
Mogok kerja adalah hak dasar pekerja tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seorang pun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja dan jika dilanggar dapat dijatuhi sanksi.
Saran-saran :
- Ketentuan tentang waktu pelaksanaan mogok kerja supaya diatur agar mudah pengawasannya.
- Setiap ada kegiatan mogok kerja supaya berkordinasi dengan kepolisian agar lebih terjamin pengawasannya.
- UU Nomor 9 Tahun 1998 kiranya harus dipakai sebagai rujukan dalam melakukan mogok kerja.
Penutup
Hubungan kerja merupakan bagian dari Hubungan Industrial Pancasila yang mengutamakan “prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat”. Oleh karena itu, pengusaha dan pekerja harus berusaha menghilangkan perbedaan pendapat dan mencari persamaan ke arah kesepakatan di antara mereka. Pada prinsipnya kedua belah pihak harus menyadari bahwa setiap permasalahan yang timbul, tidak diselesaikan dengan paksaan sepihak, tetapi diselesaikan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (16) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa Hubungan Industrial adalah suatu hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada “nilai-nilai Pancasila’ dan UUD 1945. Kenyataannya mogok kerja sering terjadi di banyak perusahaan, meskipun pada akhirnya hak pekerja/buruh belum dapat sepenuhnya terwujud.