Jakarta, 28 November 2021. Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman mengeluarkan Surat Instruksi Nasional kepada seluruh Struktural Kepemimpinan baik Daerah, Cabang sampai dengan Pimpinan Unit Kerja. Surat Instruksi Nasional ini dikeluarkan menyusul hasil putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi (judicial review) Undang – undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang bersifat final dan mengikat (final and binding). Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan hasil uji formil dan materiil Undang-undang Cipta Kerja dengan nomor 91/PUU-XVIII/2020, Kamis (25/11). Dalam amar putusan, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat(conditionally unconstitutional) dan harus dilakukan perbaikan dalam kurun waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan.
Surat Instruksi Nasional
Surat Instruksi Nasiuonal organisasi dibuat untuk memberi arahan kepada semua struktur SP RTMM – FSP RTMM-SPSI di seluruh Indonesia pasca agar tidak terjadi keragu-raguan atau kebingungan dan dapat mengambil langkah-langkah strategis organisasi menghadapi kondisi ketenagakerjaan terkini pasca putusan MK tersebut.
Isi Surat Instruksi Nasional bernomor : 342/PP FSP RTMM-SPSI/XI/2021 secara garis besar berisi 5 insrtuksi sebagai berikut:
- Seluruh jajaran struktural kepemimpinan SP RTMM/FSP RTMM-SPSI (Pimpinan Unit Kerja, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Daerah) agar segera dan secepatnya mengambil kebijakan organisasi di tingkatan masing-masing untuk melakukan upaya aksi dan/atau yang sejenisnya, yang disesuailan dengan situasi kondisi masing-masing.
- Bahwa aksi dan/atau sejenisnya tersebut diatas diarahkan kepada upaya pengawalan terhadap kebijakan upah minimum di daerah masing-masing akibat gagalnya upaya Uji Materi UU No. 11 tahun 2020 , yang berimplikasi terhadap peraturan turunannya, khususnya PP 36 tahun 2021.
- Bahwa dalam melaksanakan aksi dan/atau sejenisnya di daerah masing-masing agar berkoordinasi dengan pihak aparat setempat serta tetap wajib menjaga dan mematuhi sepenuhnya protokol kesehatan.
- Bahwa dalam menjalankan aksi dan/atau sejenisnya agar mengutamakan dialog yang berpedoman keoada hasil keputusan rapat (terlampir).
- Bahwa instruksi nasional ini wajib dijalankan oleh seluruh jajaran struktural kepemimpinan SP RTMM/FSP RTMM-SPSI.
Penjelasan Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI
Dalam keterangan tertulisnya Sudarto,As (Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI) menjelaskan, instruksi nasional tersebut dibuat setelah sebelumnya PP FSP RTMM-SPSI melakukan rapat koordinasi secara virtual Jum’at (26/11) bersama Pimpinan Daerah dan Cabang seluruh Indonesia. “Kami memutuskan membuat instruksi nasional ini setelah mempertimbangkan masukkan dari segenap unsur struktural baik daerah (provinsi), maupun cabang (kabupaten/kota)” demikian keterangan yang disampaikan. Dalam rapat tersebut secara bergantian Pimpinan Daerah dan Pimpinan Cabang yang hadir, yaitu: PD Jambi, PD Sumsel, PD Lampung, PD DKI Jakarta, PD Jawa Barat, PD Jawa Tengah, PD DIY, PD Bali, PC Lampung Tengah, PC Karawang, PC Semarang, PC Kota Surabaya, PC Kota Malang, PC Kab. Malang, dan PC Pasuruan melaporkan perkembangan ketenagakerjaan di daerah masing-masing, khususnya mengenai penetapan Upah Minimum Provinsi dan usulan atau rekomendasi terkait penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota oleh Gubernur pada 30 November 2021.
Keputusan Rapat
Dalam Forum tersebut Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI bersama peserta rapat memutuskan beberapa hal berikut :
- Kebijakan Jangka Pendek
Bahwa terkait Upah Minimum Kota/Kabupaten tahun 2022 yang akan ditentukan oleh para Gubernur di seluruh Indonesia paling lambat tanggal 30 November tahun berjalan dan berlaku pada 1 Januari tahun berikutnya, serta hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut, maka segenap struktural kepengurusan FSP RTMM-SPSI di seluruh Indonesia wajib melakukan upaya bersama:
- Penentuan upah minimum bagi pekerja dengan masa kerja di bawah 1 (satu) tahun, maka Pemerintah Daerah harus benar-benar memperhatikan dan menyesuaikan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah, agar daya beli masyarakat tetap terjaga;
- Bagi pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, maka sesuai ketentuan yang ada wajib memperhatikan, menyusun, dan mengimplementasikan struktur dan skala upah, setidaknya mencakup: besaran Cost of Living Adjustmen (COLA), besaran merit kinerja, penghargaan atas masa kerja, golongan, jabatan, pendidikan, kompetensi, dll. Kepala Daerah wajib melakukan pengawasan pelaksanaan tersebut dengan tetap memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas;
- Surat instruksi nasional Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI bagi segenap unsur struktural organisasi SP RTMM – FSP RTMM-SPSI SP RTMM – FSP RTMM-SPSI FSP RTMM-SPSI dalam rangka mengawal kebijakan Pemerintah tentang pengupahan dan ekses dari tetap berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya terhadap dampaknya bagi ketenagakerjaan, dapat dilakukan secara litigasi maupun non-litigasi, yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan saling kerjasama dengan tetap menyesuaikan potensi, kemampuan, kebutuhan, dan kondisi masing-masing wilayah/daerah. Khusus untuk advokasi secara non-litigasi (unjukrasa, aksi keprihatinan, dll) harus mampu mengkalkulasi anggota yang bisa ikut berpartisipasi, minimal pengurus, memperhatikan ketentuan protokol kesehatan dan preventif terhadap pemberlakuan PPKM level 3 oleh Pemerintah di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
- Kebijakan Jangka Panjang
Bahwa untuk jangka panjang, akan dilakukan upaya litigasi melibatkan seluruh struktural SP RTMM – FSP RTMM-SPSI berupa uji materi terhadap peraturan turunan UU No. 11, 2020 tentang Cipata Kerja, terutama Peraturan Pemerintah (PP) No. 35, 2021 dan PP No. 36, 2021. Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI dengan tetap memperhatikan mekanisme dan prosedural serta prinsip koletif kolegial melalui koordinasi dengan segenap perangkat organisasi di bawahnya akan:
- Melakukan kajian terhadap peraturan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, klaster ketenagakerjaan, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu tertentu, Alih daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja serta Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan melalui Forum Group Discussion (FGD) dengan melibatkan para pakar tingkat nasional untuk dianalisa bersama dan menyusun rekomendasi uji materi selanjutnya.
- Membentuk Tim Kuasa Hukum dan melakukan litigasi, uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu tertentu, Alih daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja serta Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan ke Mahkamah Agung RI.
Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terkait Uji Materu UU Cipta Kerja
Berikut kutipan pembacaan putusan oleh ketua Hakim MK Anwar Usman, “Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan’, Mahkamah berpendapat, proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Dalam pertimbangan putusan, MK menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi.
Selain itu, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan kepada publik. Naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal, berdasarkan Pasal 96 ayat 4 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, akses terhadap UU diharuskan untuk memudahkan masyarakat memberikan masukan secara lisan atau tertulis.
Mahkamah Konstitusi juga menilai, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sesuai dengan sistematika pembentukan undang-undang. Terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, maka menurut MK UU Cipta Kerja harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. Apa implikasinya? Dalam putusannya MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku Begitupula aturan turunannya yang sudah diundangkan, sepanjang Pembentuk UU melakukan perbaikan dalam tata cara pembentukan UU Cipta Kerja.
Tantangan Ketenagakerjaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Hal yang logis adalah, jika Hakim Mahkamah Konstitusi telah dengan yakin menyatakan bahwa UU Cipta Kerja telah cacat secara prosedural maka seharusnya dengan tegas Undang-Undang tersebut harus dinyatakan batal demi hukum (inkonstitusional) bukan inkonstitusional bersyarat. Tentu putusan ini terindikasi bentuk ‘kompromi’ sehingga tidak meniadakan serta merta seluruh UU Cipta Kerja pada tanggal diputuskan, namun terdapat rentetan konsekuensi yang tidak terelakan dari ‘embel-embel’ bersyarat dalam putusan dimaksud, termasuk PP 36 Tahun 2021 yang masih berlaku. Seperti yang kita ketahui Kementerian Ketenagakerjaan mengumumkan besaran kenaikan UMP tahun 2022 sangat kecil. Hal ini karena kondisi ekonomi dan inflasi yang menjadi dasar perhitungan UMP, bernilai kecil. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat UMP pada tahun 2022 naik rata-rata sebesar 1,09%. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyampaikan besaran kenaikan UMP itu saat menggelar konferensi pers tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Pekerja 2022 pada 16 November 2021. Kebijakan ini seahrusnya bisa dibatalkan apabila menggunakan analogi penetapan status UU Cipta Kerja yang Inskonstitusional (cacat formil).
Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia