Belakangan regulasi yang dibuat oleh pemerintah dirasakan sangat merugikan pekerja khususnya RTMM. UU Cipta Kerja, Bab tentang Zat Adiktif dalam UU Kesehatan dan RPP Kesehatan, Pajak Penghasilan (PPh) 21, yang efektif berlaku sejak 1 Januari 2024. Dan yang paling anyar adalah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2024 tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA), semakin membuat pekerja, khususnya anggota RTMM tertekan. Kondisi ini diperparah dengan sistem pengupahan di Indonesia yang menjadikan upah minimum dijadikan seolah olah menjadi “upah maksimum”. Kondisi ini semakin memicu turunnya daya beli pekerja dan tentu kualitas penghidupannya.https://www.instagram.com/p/C8rnpQEyQ5y/?igsh=dWJta2VwYW5zaDB4
Kritisan PP FSP RTMM-SPSI
Bagi PP FSP RTMM-SPSI sebagai pimpinan tertinggi SP RTMM – FSP RTMM-SPSI tingkat nasional, regulasi TAPERA ini merupakan antithesis atas tugas pokok sebagai Serikat Pekerja. Adapun tugas Serikat Pekerja yakni melindungi, membela, dan memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja (anggota) serta meningkatkan kesejahteraan pekerja (anggota) dan keluarganya. Memaksakan TAPERA merupakan perbuatan yang sewenang-wenang dan berpotensi melanggar hak asasi manusia. Apalagi tidak ada kejelasan peran/kontribusi dari Pemerintah dalam program tersebut. Beberapa hal yang harus menjadi perhatian serius pemerintah, terutama terkait kebijakan tentang perumahan pekerja,yaitu ;
Sebagian anggota RTMM yang berpenghasilan berdasarkan upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) sudah menanggung iuran untuk jaminan sosialnya baik di BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Total iurannya: 4% dengan rincian sebagai berikut, BPJS Kesehatan 1 %, BPJS Ketenagakerjaan, JHT, JK, JKK: 2%; dan JP: 1%. Beban ini akan semakin berat apabila ditambah dengan iuran TAPERA sebanyak 2,5%. Bagi anggota RTMM yang tinggal di JABODETABEK. UMK/UMP-nya di atas 5 (lima) juta Rupiah dan di luar JABODETABEK dan berpenghasilan lebih dari 5 (lima) juta Rupiah masih harus menanggung PPh 21 sebesar minimal 5%. Penambahan beban bagi pekerja akan mengurangi daya beli dan tentu menimbulkan kemerosotan kualitas hidup bersama keluarganya.
Ketentuan tentang TAPERA yang mewajibkan semua pekerja merupakan bentuk ketidakadilan. Ketidakadilan tentu dirasakan oleh anggota kami yang telah memiliki rumah melalui KPR umum/bersubsidi dan/atau yang memanfaatkan program yang disediakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Mereka masih harus menyelesaikan kredit rumah yang sudah disepakati sementara mereka juga harus membayar iuran TAPERA. Sementara itu tidak ada jaminan bahwa mereka bisa mendapatkan dana TAPERA untuk renovasi/perbaikan rumah yang juga akan dikenakan bunga.
Persepsi buruk masyarakat tentang pengelolaan dana Pemerintah
Peristiwa yang menimpa ASABRI dan Asuransi Bumiputra 1912 telah menimbulkan kesan negatif yang amat membekas di kalangan masyarakat. Betapa pengelolaan dana rakyat dalam jumlah besar, dapat bermasalah walaupun dikelola oleh negara sekalipun. Potensi peserta di atas 100 juta orang memperkuat asumsi bahwa dana yang terkumpul amat besar dan tidak ada jaminan akan terhindar dari penyelewengan baik oleh Badan Pengelola maupun oleh Pemerintah sendiri. Apalagi tidak ada penyertaan modal dari Pemerintah.
Pemerintah menginformasikan bahwa iuran TAPERA tidak ada hubungannya dengan program Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun kami patut menduga bahwa Dana TAPERA justru dapat dimanfaatkan penggunaannya oleh pemerintah tidak hanya sebatas pada perumahan, potensi penempatan dana TAPERA lebih banyak diinvestasikan pada Surat Utang Korporasi sebesar 47 persen.
TAPERA juga melakukan penempatan dana sebesar 45 persen di instrumen investasi Surat Berharga Negara (SBN). Sisanya, ditempatkan pada deposito perbankan dan giro. Dengan proporsi tersebut, maka pemerintah selaku pengelola APBN memang mempunyai kepentingan dalam pengelolaan dana TAPERA untuk pembelian SBN di mana proporsinya mencapai 45 persen. Kami mencurigai bahwa Pemerintah tengah mendorong pembelian SBN melalui tangan kanan pemerintahan di pasar keuangan.
Berbagai lembaga pengelolaan investasi pelat merah diminta lebih banyak menanamkan porsi investasi SBN, termasuk TAPERA. Ada potensi legit dari TAPERA mencapai Rp.135 triliun dari pengumpulan dana pegawai. Dari situ saja, dana untuk SBN bisa mencapai Rp.61 triliun. Dengan target Rp.160 triliun penerbitan SBN di 2024, maka 37 persen bisa dipenuhi hanya dari BP TAPERA. Artinya, pemerintah diuntungkan lewat TAPERA karena dana investasi pegawai bakal dikelola untuk membeli surat utang negara.
Ironi yang dihadapi oleh Pekerja
Disisi lain, dampak dari pengaturan kenaikan upah minimum dalam Undang-undang Cipta Kerja secara nyata telah mendegradasi atau cenderung rendah sehingga tidak bisa menutup kenaikan harga barang pokok dan menyebabkan daya beli pekerja turun hampir 30%. Di luar pengeluaran barang pokok, pekerja harus menerima realita bahwa mereka dikenai potongan hampir 12% dari gaji. Potongan itu mencakup: potongan iuran jaminan Kesehatan nasional (1%), potongan jaminan sosial ketenagakerjaan (JKK/JKM/JHT/JP : 3,54%), iuran wajib TAPERA (2,5%), serta potongan pajak penghasilan. Ditambah adanya akibat biaya hidup dasar, antara lain: kenaikan harga BBM, gas, listrik, PPN 11%, potongan koperasi, dll bisa mencapai sekitar 4,96%.
Secara umum di lapangan, dampak iuran Tapera pada kondisi ekonomi saat ini, berpotensi menyebabkan penurunan PDB nasional hingga Rp.1,21 triliun. Risiko ini muncul karena iuran wajib Tapera akan membuat tingkat konsumsi masyarakat melemah. Ditambah kondisi saat ini di mana daya beli sudah loyo dan biaya hidup semakin meroket. Pendapatan pekerja turut terdampak, dengan risiko penurunan sebesar Rp.200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat bisa berkurang.
TAPERA membuat surplus bisnis bakal mengalami penurunan sebesar Rp.1,03 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa profitabilitas dunia usaha secara agregat di berbagai sektor menurun akibat kebijakan TAPERA. Pada akhirnya, TAPERA akan berdampak pada hilangnya 466,83 ribu pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan iuran wajib TAPERA berdampak negatif pada lapangan kerja, indikasi dari adanya pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan.
Seharusnya kehadiran negara diharapkan dapat menjadi tempat perlindungan bagi pekerja/buruh, sebagai bagian dari warga negara. Negara melalui Pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat pekerja/buruh. Bekerja merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan penghasilan agar dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Akan tetapi dengan adanya penambahan kewajiban iuran TAPERA ini. Setelah sebelumnya disahkan omnibuslaw cipta kerja yang secara fakta telah mendegradasi kesejahteraan pekerja/buruh, P2SK, dan Kesehatan, serta terjadinya kenaikan harga BBM, gas, dan listrik yang merupakan faktor penentu harga kebutuhan pokok masyarakat tentunya akan sangat memberatkan biaya hidup masyarakat, termasuk pekerja/buruh.7 Kota Dengan Literasi Digital RTMM Tertinggi Edisi Mei 2024